Pasar Nantikan Kebijakan The Fed, Harga Minyak Turun ke level US$ 59,9
Harga minyak mentah dunia melemah pada perdagangan Kamis (22/8) atau Jumat pagi (23/8) waktu Indonesia barat. Turunnya harga minyak dipicu kekhawatiran tentang ekonomi global dan ketidakpastian di pasar ekuitas sebagai dampak dari kebijakan pemotongan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, yang belum jelas.
Pelaku pasar tengah menantikan pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, hari ini pada sebuah simposium di Jackson Hole, Wyoming. Pidato dari Powell akan memberikan petunjuk kepada pasar terkait posisi kebijakan The Fed, apakah akan kembali memangkas suku bunga atau tidak.
Mengutip Reuters, harga minyak berjangka jenis Brent, turun US$ 38 sen atau 0,6% menjadi US$ 59,92 per barel. Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri sesi turun US$ 33 sen atau 0,6% lebih rendah pada penutupan sebelumnya di level US$ 55,35.
"Pasar akan mengalihkan fokusnya hari ini ke tajuk berita makro ekonomi dengan memprioritaskan dengan komentar (The Fed) dari Jackson Hole," kata Presiden Ritterbusch and Associates, Jim Ritterbusch dikutip dari Reuters, Jumat (23/8).
(Baca: Harga Minyak Mentah Dunia Stabil US$ 60 saat Pasokan AS Menurun)
Pidato Powell di Jackson Hole hari ini penting untuk minyak karena sinyal dari The Fed terkait kebijakan pelonggaran moneter akan mempengaruhi mata uang dolar AS yang pada Kamis (22/8) melemah terhadap sejumlah mata uang. Pasalnya, mata uang AS yang lebih lemah cenderung mendongkrak harga minyak.
Namun bursa saham AS di Wall Street yang berakhir lebih rendah kemarin serta pernyataan pejabat The Fed yang menyatakan perekonomian AS masih cukup kuat, semakin menurunkan harapan akan penurunan suku bunga lebih lanjut. Turunnya Wall Street dipicu oleh sektor manufaktur yang terkontraksi untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir.
Di sisi lain, kekhawatiran atas dampak dari perang dagang AS-Tiongkok terhadap pertumbuhan ekonomi AS mendorong The Fed untuk menurunkan suku bunga pada Juli lalu untuk pertama kalinya sejak 2008. Dampak dari perang dagang ini memicu kekhawatiran melemahnya pertumbuhan permintaan minyak.
Presiden AS Donald Trump mengatakan pada Rabu bahwa dia adalah "the chosen one" atau yang terpilih untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dengan Tiongkok. Walaupun anggota kongres memperingatkan bahwa kebijakan tarifnya berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,3% pada 2020.
(Baca: Trump: Saya yang Terpilih Hadapi Tiongkok)
Kendati demikian, harga minyak Brent secara year to date (ytd) masih mencatatkan kenaikan sekitar 13% tahun ini. Kenaikan tersebut didukung oleh pemotongan pasokan minyak yang dipimpin oleh negara-negara anggota OPEC, dan pemangkasan ekspor minyak dari Iran dan Venezuela yang terkena sanksi ekonomi dari AS.
Namun Iran memberi peringatan kepada AS jika ekspor minyaknya terganggu, maka jalur perairan internasional tidak akan memiliki keamanan yang sama seperti sebelumnya.