Roby Arya Brata, Lolos Setelah Tiga Kali Ikuti Seleksi Capim KPK
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerima sepuluh nama Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK, Senin (2/9). Jika tidak ada perubahan atau catatan khusus dari presiden, sepuluh nama tersebut akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dipilih lima nama yang bakal ditetapkan menjadi Pimpinan KPK definitif.
Jika menyebut siapa nama calon pimpinan KPK yang paling bersemangat mengikuti pencalonan tersebut, mungkin nama Roby Arya Brata akan muncul. Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet (Setkab) ini telah tiga kali mengikuti proses seleksi Capim KPK.
Saat mengikuti seleksi Capim KPK periode 2015-2019, ia lolos hingga tahap uji kepatutan dan kelayakan bergabung dengan sembilan nama calon lainnya. Sayangnya, ia justru kandas ditahap akhir dan dinyatakan tak lebih baik dari lima pimpinan KPK yang ada sekarang. Ia pertama kali mengikuti seleksi Capim KPK pada periode kerja 2011-2015.
Dua kali tak lolos melaju sebagai petinggi di gedung Merah Putih bukan berarti karier Roby terhenti. Ia justru cemerlang berkarier sebagai Aparat Sipil Negara (ASN) di lembaga Sekretariat Kabinet (Setkab). Sejak 2011-2018, Roby adalah kepala bidang Hubungan Internasional (HI) Setkab dari era kedua pemerintahan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga menjelang akhir kabinet periode pertama Presiden Jokowi. Setelah setahun mengurusi bidang HI, Roby pindah ke Deputi Bidang Perekonomian Setkab sejak dilantik Agustus 2018.
(Baca: Jokowi Setuju dengan 10 Nama Calon Pimpinan KPK yang Diserahkan Pansel)
Pernah Membantu Presiden SBY di UKP3R
Jauh sebelum pencalonannya di KPK, Roby sempat menjabat sebagai Plt. Asisten Kepala Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) pada 2008-2010. Lembaga pembantu presiden tersebut dibentuk pada 2006 atau periode pertama pemerintahan Presiden SBY.
Lembaga ini sempat menuai kontroversi, mulai dari banyaknya pertanyaan perihal urgensi pembentukannya hingga konflik internal pada koalisi SBY-Jusuf Kalla (JK). Pasalnya, Marsilam Simandjuntak yang ditunjuk SBY menjadi Ketua UKP3R saat itu, sempat bersitegang dengan Partai Golkar yang menjadi parpol pengusung JK.
Kepiawaian Roby mengurusi birokrasi membuatnya begitu dekat tugas-tugas sebagai pembantu presiden. Latar belakang pendidikan di bidang hukum banyak membantu karier Roby. Ia adalah sarjana hukum dari Universitas Padjajaran, Bandung. Kemudian, Roby melanjutkan jenjang pendidikan magister dan doktoralnya di luar negeri. Program magister bidang kebijakan publik diselesaikannya di University of Wellington, Selandia Baru pada 1999. Untuk program doktoralnya, ia lulus dari Australian National University pada 2001.
Sebelum terbang ke Selandia Baru untuk menempuh pendidikan S2, Roby sempat mencicipi bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) dengan bekerja sebagai analis hukum di Komnas HAM pada 1993-1995.
Roby juga sudah menulis buku untuk membagikan pengetahuannya di bidang pemerintahan. Buku berjudul 'Analisis Masalah Good Governance dan Pemerintahan Strategis' tersebut diterbitkan pada 2015. Dalam buku itu ia mengulas banyak perihal potensi kegagalan sistem pemerintahan demokrasi saat ini, salah satu pemicunya adalah perkara korupsi. Ia menyodorkan sejumlah paparan tentang tata kelola pemerintahan yang baik dalam bukunya itu.
(Baca: Firli Bahuri, Kapolda Sumsel dan Capim KPK yang Penuh Kontroversi)
Pernyataan Kontroversial tentang KPK
Pada saat mengikuti seleksi, Roby pernah mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan kontroversi. Dalam wawancara dengan Najwa Shihab di acara Mata Najwa, Roby ingin KPK menjadi lembaga yang lebih bermanfaat, bukan sekadar menangkap koruptor.
"Saya ingin bagaimana KPK ini lebih bermanfaat lagi, enggak cuma menangkap orang, membuat pemerintahan mandek ketakutan," ujarnya, dalam wawancara tersebut.
Menurutnya banyak uang yang seharusnya bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, para pejabat tidak berani mengambil keputusan mengenai dana tersebut karena takut terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Ia mengatakan, KPK akan lebih baik jika KPK menjadi lembaga yang mampu mencegah terjadinya korupsi.
(Baca: Alexander Marwata, Petahana yang Lolos Seleksi Capim KPK)