Revisi UU KPK Dinilai Terburu-buru, Masinton: Memang DPR Kayak Kerbau?
Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesian Corruption Watch (ICW) mempertanyakan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terkesan buru-buru menginginkan revisi Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, masa jabatan DPR periode ini segera berakhir.
Peneliti ICW Tama S. Langkun mengatakan, tidak semua anggota DPR periode ini terpilih untuk periode mendatang. "Artinya ini (revisi UU KPK) akan menjadi salah satu ruang yang tidak akan mengikat ke depannya dan tidak efektif, apalagi waktunya sudah mepet," kata Tama dalam diskusi bertajuk 'Revisi KPK dan Undang Undangnya' yang digelar Smart FM Network dan Pollmark, di Jakarta, Sabtu (7/9).
(Baca: Kongsi Besar yang Berupaya Membonsai KPK)
DPR sepakat menjadikan revisi UU KPK sebagai usulan parlemen, dalam rapat paripurna, Kamis, 5 September 2019 lalu. Tama menyebut langkah DPR ini bisa menganggu agenda pemberantasan korupsi. Maka itu, Presiden Joko Widodo semestinya bisa menyatakan penolakan atas agenda revisi UU tersebut, meskipun proses revisinya belum selesai.
"Kami menilai UU KPK saat ini masih cukup efektif. Upaya-upaya untuk melakukan pengujian kritik tentang UU KPK masih berjalan melalui jalur konstitusional di Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
(Baca: Minta Lindungan Jokowi, Ketua KPK: Jangan Biarkan Anak Reformasi Mati)
Di sisi lain, Masinton Pasaribu, Anggota Komisi III DPR yang juga salah satu pengusul revisi UU KPK, menilai bukan masalah kapan revisi dimajukan. "Ya kan masalah persoalan waktu saja. Mau di awal maupun di akhir jabatan itu terserah," kata dia.
Ia menambahkan, draf revisi UU KPK juga tidak akan langsung disetujui setiap fraksi di DPR. Sebab, harus ada pemahaman yang sama dulu di antara seluruh fraksi. "Ya emang DPR itu kaya kerbau yang dicucuki hidungnya terus langsung setuju? Kan enggak, ngobrol dulu idenya disamakan," kata dia.
Terdapat enam poin perubahan substansial yang tercantum dalam draf revisi UU KPK yang dibuat Badan Legislasi DPR. Poin-poin revisi tersebut dianggap banyak pihak, termasuk pimpinan KPK, bertujuan melemahkan kerja lembaga antirasuah.
(Baca: DPR Kebut Revisi UU KPK Agar Bisa Diterapkan Jajaran Pimpinan Baru)
Poin pertama, kedudukan KPK berada pada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan yang tugas dan kewenangannya bersifat independen. Pegawai KPK nantinya berstatus sebagai aparatur sipil negara yang tunduk pada peraturan perundang-undangan terkait.
Kedua, KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyadapan namun baru bisa dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan penegak hukum lainnya sesuai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Keempat, tugas KPK dalam pencegahan akan ditingkatkan. Alhasil, setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebelum dan sesudah masa jabatan.
Kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya nantinya dibantu oleh organ pelaksana pengawas.
Keenam, KPK nantinya berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik.