OJK Dinilai Lebih Kendur Awasi Konglomerasi Keuangan Nonbank
Pengawasan konglomerasi keuangan menjadi salah satu sorotan Bank Dunia terkait ketahanan sistem keuangan di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku wasit dinilai mengalami keterbatasan dalam mengawasi konglomerasi keuangan akibat peraturan tata kelola yang dimiliki lembaga itu.
Hal tersebut termuat dalam paparan Bank Dunia yang berjudul Global Economic Risk and Implications for Indonesia pada September 2019.
Dalam paparan tersebut, Bank Dunia kemudian menyarankan agar regulator industri keuangan itu menetapkan pengawasan risiko terhadap konglomerasi keuangan ke dalam satu tim. Undang-Undang OJK juga disarankan untuk direvisi dengan menghilangkan tanggung jawab komisaris individu untuk masing-masing sektor.
Ekonom INDEF Bhima Yudistira sepakat dengan pendapat Bank Dunia. Menurut dia, terdapat celah dalam pengawasan konglomerasi keuangan oleh OJK yang perlu diperbaiki.
"Untuk konglomerasi keuangan yang dipimpin sektor perbankan memang pengaturannya cukup ketat. Tapi kalau sektor lain, seperti asuransi, harus diakui memang masih kendur," ujar Bhima kepada Katadata.co.id.
(Baca: Penyebab 33 Perusahaan Tiongkok Tak Pilih Investasi ke Indonesia)
Seperti halnya Bank Dunia, ia juga menilai ada kesenjangan dalam pengaturan dan pengawasan antara sektor perbankan dan asuransi. Padahal, meski mayoritas konglomerasi keuangan dipimpin bank, terdapat perusahaan asuansi yang turut menjadi induk.
Berdasarkan catatan Katadata.co.id, terdapat sejumlah konglomerasi keuangan yang saat ini memiliki induk usaha asuransi, seperti Prudensial Indonesia, Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, hingga Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera.
"Pengawasan di sektor asuransi harus diakui masih kendur termasuk soal missmatch likuiditas, lihat saja kasus AJB Bumiputera," kata dia.
Dikonfirmasi, OJK tak mau berkomentar banyak. Juru Bicara OJK Sekar Putri Jarot mengaku pihaknya tak diajak berdiskusi oleh Bank Dunia terkait permasalahan tersebut sehingga tak dapat memberikan tanggapan lebih lanjut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia Togar Pasaribu mengaku tak sepakat dengan saran Bank Dunia. Ia menilai pengaturan pengawasan yang dilakukan OJK terkait konglomerasi keuangan sudah cukup.
“Tim khusus untuk mengawasi konglomerasi keuangan seperti usul Bank Dunia, menurut saya, tidak perlu. Bukan kah konglomerasi di industri keuangan ada di BUMN,” ucapnya.
(Baca: OJK Didorong Segera Selesaikan Masalah Bumiputera dan Jiwasraya)
Ia juga menilai pengaturan pengawasan OJK di sektor asuransi sudah cukup. Menurut dia, pengawasan seharusnya tak hanya diperketat dari sisi OJK sebagai regulator, tetapi juga pengurus dan pemilik perusahaan.
Senada, Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiatmadja juga menilai pengawasan terhadap konglomerasi keuangan saat ini sudah cukup.
"Menurut saya, pengawasan OJK sudah cukup baik. Kalau diperketat terus, kapan institusi finansial kita berkiprah untuk jadi financial intermediary. Kalau soal terintegrasi, kami juga mengawasi anak usaha asuransi," terang dia.
Bank Dunia sebelumnya menyebut pengawasan terhadap konglomerasi keuangan perlu diperketat antara lain karena menguasai 88% aset perbankan.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dikeluarkan OJK, total aset bank umum mencapai Rp 8.243 triliun per Juni 2019. Artinya, sekitar Rp 7.254 triliun aset tersebut dikuasai konglomerasi keuangan.
Bank-bank pelat merah menyumbang aset terbesar. Mereka memiliki lini bisnis yang cukup lengkap, mulai dari pembiayaan, asuransi, bank syariah, sekuritas, modal usaha, hingga remitansi.