Pulau Integritas Bernama KPK

Metta
Oleh Metta Dharmasaputra.
15 September 2019, 13:50
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina
Mahasiswa membubuhkan tanda tangan dan cap telapak tangan pada spanduk hitam saat menggelar aksi #SaveKPK di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/9/2019). Aksi yang diikuti mahasiswa, dosen dan masyarakat Surabaya tersebut menolak revisi UU KPK karena dianggap akan melemahkan KPK dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Ayah kenapa tidak bilang kalau akan ada pemotongan uang?”

“Yuke, seandainya saya mengatakan kepadamu, engkau pasti menyampaikan kepada ibumu, lalu kalian berdua mungkin akan memberi tahu kawan-kawan lainnya. Itu tidak baik... “

 ***

PAGI itu, 19 Maret 1950, pemerintah secara tiba-tiba mengeluarkan pengumuman penting: nilai uang dipotong dari semula Rp 100 menjadi Rp 1. Akibat kebijakan ini, tabungan Yuke yang dikumpulkannya dengan susah payah menjadi tak bernilai.

Ia tak lagi mampu membeli mesin jahit idamannya. Padahal, lelaki yang menemaninya tidur semalam dan sarapan pagi itu, tak lain adalah Muhammad Hatta, suaminya yang juga Wakil Presiden di Republik ini.

Sepenggal percakapan antara Hatta dan istrinya Yuke—panggilan akrab Rachmi—itu menggambarkan bagaimana kukuhnya sebuah integritas dijaga. Nilai ini yang tampaknya ingin disampaikan dalam buku KPK Berdiri Untuk Negeri, yang diluncurkan pada April lalu.

Selain Hatta, ada sejumlah teladan lain yang dituliskan. Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara (1946), misalnya. Ia tak pernah tergoda untuk mengambil uang negara yang dikelolanya, meski keluarganya kekurangan. Demi menyambung hidup, sang istri Halimah, berjualan sukun goreng.

Dalam spirit ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dilahirkan. Proses kelahirannya secara lengkap diulas di buku yang ditulis oleh Arin Swandari, Cisya Satwika, Lilyani Harsulistyati dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas ini. Buku yang relevan dan penting untuk dibaca hari-hari ini, ketika lembaga anti rasuah ini kini didera beragam kontroversi.

(Baca: Sikap Jokowi dalam Revisi UU KPK, Bumerang Bagi Kepercayaan Publik)

Cikal-Bakal Badan Independen

Kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah membuka ruang bagi para penggiat antikorupsi untuk memulai kerja besar memberantas korupsi. Strategi segera dirancang. Sejumlah tokoh berhimpun hingga melahirkan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) pada 10 Agustus 1998.

Tokoh dari kalangan hukum, di antaranya Arief T. Surowidjojo, Ahmad Fikri Assegaf, dan Chandra M. Hamzah. Sedangkan dari profesional ada Erry Riyana Hardjapamekas (PT Timah), Kemal Azis Stamboel (PwC), Sudirman Said (Indika), dan T.P. Rachmat (Astra).

Dari kalangan kampus terdapat mantan rektor UGM Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, ekonom UI Sri Mulyani Indrawati, serta aktivis mahasisiswa Nizar Suhendra. Tak ketinggalan Bambang Harymurti dari media Tempo.

Diam-diam, Kuntoro Mangkusubroto yang kala itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi pun ikut terlibat. Ia bahkan ikut turun ke jalan pada aksi demonstrasi Mei 1998. “Dia pakai topi besar untuk menyamar,” kata Fikri Assegaf.

Gerakan ini kian kokoh ketika mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad yang terkenal bersih hingga dijuluki Mr. Clean ikut bergabung. Dalam kepengurusan MTI, Mar’ie dan Koesnadi kemudian didapuk menjadi Ketua dan Wakil Ketua.

Dari kelompok inilah muncul nama Badan Independen Anti Korupsi (BIAK) yang menjadi cikal bakal lahirnya KPK. Usulan nama lain sempat muncul dari Amien Sunaryadi, pegawai negeri sipil eselon III di BPKP, yang juga sering nimbrung di rapat-rapat MTI.

Ia membawa nama Badan Anti Korupsi (BAK). Sedangkan istilah Komisi pertama kali disampaikan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan dalam pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada April 1999, yang saat itu dinamakannya Komisi Pemberantasan KKN. 

Menurut Fikri Assegaf, esensi BIAK dan BAK sama. Yang luar biasa, Amien sudah melakukan studi mendalam atas hasil riset di Malaysia, Singapura, dan dalam negeri. Kesimpulannya, perlu ada badan independen untuk memberantas korupsi, termasuk kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan bahkan penyadapan.

“Ini bagian dari konsep island of integrity, membentuk lembaga baru yang bersih dari korupsi, tidak ada faktor lama,” kata Fikri.

Demi menjaga integritas itulah, Mar’ie sangat keras menjaga independensi MTI. Mereka memilih mengongkosi sendiri kebutuhan organisasi, agar tak ada tuduhan ditunggangi pengusaha, asing atau partai.

Mar’ie sampai merelakan mobil pemberian negara dan milik pribadinya dijual. Koesnadi bahkan mendepositokan dana pensiun miliknya. Bunga deposito itulah yang kemudian ia sumbangkan untuk urunan pendanaan MTI.

Halaman:
Metta
Metta Dharmasaputra.
Pendiri Katadata Insight Center
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...