Tiga Revisi Aturan Kontroversial di Masa Akhir Anggota Dewan

Dimas Jarot Bayu
20 September 2019, 11:19
Tiga Revisi Aturan Kontroversial di Masa Akhir Anggota Dewan
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
DPR menyelenggarakan rapat paripurna ke-22 masa persidangan V Tahun 2018-2019, pada Selasa (16/7/2019). Pimpinan sidang, Wakil Ketua MPR Agus Hermanto menyatakan, hanya 85 anggota dewan yang hadir sementara 220 izin. Dari total anggota dewan sebanyak 560 orang. Sementara 255 orang tak ada izin.

Di masa akhir bakti September ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) begitu cepat menyelesaikan tugas legislasinya. Tiga aturan diketok di rapat kerja hingga paripurna: revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pemasyarakatan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sayang, semua kontroversial. Sebagian publik menilai aturan ini sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi dan meringankan hukuman koruptor.

Revisi Undang-Undang KPK

Sidang paripurna DPR mengesahkan revisi undang-undang ini pada Selasa (17/9) kemarin. Padahal, revisi aturan tersebut tak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2019 yang telah disepakati pemerintah dan DPR.

Pembahasan maraton dimulai setelah Presiden Joko Widodo mengirim surat pada Rabu (11/9) pagi. DPR dan pemerintah lalu menggelar rapat pertama pada Kamis (12/9) malam. Pembahasan dilanjutkan pada Jumat (13/9) dan Senin (16/9) malam lalu disahkan keesokan harinya.

UU KPK dikritik banyak pihak, salah satunya, karena terkait Dewan Pengawas. Peneliti ICW Tama Satya Langkun menilai KPK sudah memiliki Direktorat Pengawasan Internal dan dewan penasihat. Lima pimpinan KPK pun bertugas dengan sistem kolektif kolegial untuk saling mengawasi. Bila pimpinan melanggar bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya.

(Baca: Audiensi Tolak RUU KPK & RKUHP, Mahasiswa Kecewa Ditemui Sekjen DPR)

Kontroversi Dewan Pengawas juga lantaran pemilihannya dilakukan oleh Presiden. Terkait hal ini, tiga fraksi di DPR mengkritiknya, yakni Gerindra, PKS, dan Demokrat. Ketua Fraksi Gerindra di DPR Edhy Prabowo keberatan lantaran ada potensi penyalahgunaan wewenang Dewan Pengawas.

Sementara anggota DPR Fraksi PKS Ledia Hanifa mengatakan pemilihan anggota Dewan Pengawas oleh Presiden tidak sesuai dengan semangat menjadikan KPK bebas dari intervensi. Poin lain yang ia kritik terkait perlunya izin Dewan Pengawas ketika KPK menyadap. Bagi Ledia prosedur ini bakal melemahkan komisi antirasuah.

Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang pun menilai aneh keharusan meminta izin penyadapan kepada Dewan Pengawas. Apalagi proses ini hanya berlaku bagi KPK, sementara kepolisian dan kejaksaan tidak demikian. “Kalau mau diatur, harus diatur sama,” kata Rasamala beberapa waktu lalu.

(Baca: Tolak UU KPK, Banyak Akademisi & Koalisi akan Ajukan Uji Materi ke MK)

Poin kontroversial lainnya karena KPK diberikan wewenang untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai kewenangan penerbitan SP3 akan membebaskan banyak tersangka yang pengusutan kasus korupsinya membutuhkan waktu lama, seperti di sektor migas.

Hal lain yang dipersoalkan terkait status para pegawai KPK yang menjadi aparatur sipil negara (ASN). Hal ini dapat mengganggu independensi para pegawai KPK ketika mengusut perkara. Terlebih, jika mereka menangani pejabat negara yang statusnya lebih tinggi.

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...