AJI Kecam Tindak Kekerasan kepada Jurnalis Saat Demonstrasi di DPR
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam tindak kekerasan yang dilakukan aparat dan massa kepada para jurnalis saat meliput demonstrasi di sekitar gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, semalam (24/9). Hingga pagi hari ini (25/9), AJI menerima laporan ada empat jurnalis yang mengalami intimidasi, kekerasan dan dihalang-halangi saat meliput.
Padahal, wartawan mendapat perlindungan hukum selama menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Karena itu, AJI mengatakan bahwa tindakan kekerasan ini bisa dipidanakan.
Salah satu jurnalis yang mengalami kekerasan adalah Tri Kurnia Yunianto dari Katadata.co.id. Kurnia dikeroyok, dipukul dan ditendang oleh aparat dari kesatuan Brimob Polri.
Kurnia telah menunjukkan ID Pers yang menggantung di leher dan menjelaskan sedang melakukan peliputan. Hanya saja, aparat tidak menghiraukan dan tetap melakukan penganiayaan.
Tak hanya itu, polisi tersebut juga merampas ponsel Kurnia dan menghapus video yang terakhir kali direkamnya. “Video itu rekaman polisi membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata,” kata Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani melalui keterangan tertulisnya, Rabu (25/9).
(Baca: Jurnalis Katadata Dipukul Polisi saat Liputan Demonstrasi di DPR)
Lalu, Jurnalis Kompas.com Nibras Nada Nailufar mengalami intimidasi saat merekam tindakan kekerasan yang dialami seorang warga di kawasan Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta. Polisi melarang Nibras merekam gambar dan memaksanya untuk menghapus rekaman video tersebut.
“Nibras bahkan nyaris dipukul oleh seorang polisi,” kata Asnil.
Jurnalis lain yang mengalami kekerasan berasal dari IDN Times, Vanny El Rahman. Vanny dipukul dan diminta menghapus foto dan video rekamannya. Hal itu terjadi ketika dia melihat polisi melakukan kekerasan terhadap demonstran di sekitar jalan layang Slipi, Jakarta.
Kemudian, jurnalis Metro TV Febrian Ahmad mengalami kekerasan oleh massa yang tidak diketahui. Mobil yang digunakan Febrian saat meliput di wilayah Senayan dipukuli dan dirusak massa.
“Akibatnya, kaca mobil Metro TV bagian depan dan belakang, serta kaca jendela pecah semua,” kata Asnil.
Asnil menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan yang dilakukan polisi dan massa terhadap para jurnalis merupakan tindakan pidana. Sebab, jurnalis memiliki hak untuk mencari, menerima, mengelola, dan menyampaikan informasi.
Hal itu dijamin dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. “Dalam Pasal 18 Ayat 1 UU tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta,” kata Asnil.
(Baca: Polisi Diminta Tak Pakai Kekerasan Saat Menangani Unjuk Rasa Mahasiswa)
Atas tindak kekerasan terhadap jurnalis tersebut, AJI Jakarta mendesak Kepolisian menangkap pelaku, baik yang melibatkan anggotanya maupun sekelompok warga. Terlebih, kekerasan yang dilakukan anggota Polri terekam jelas dalam video-video yang dimiliki jurnalis.
“Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan,” kata dia.
AJI Jakarta juga mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat melakukan peliputan. Sebab, jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers.
Lebih lanjut, AJI Jakarta mengimbau perusahaan media mengutamakan keamanan dan keselamatan jurnalisnya. AJI Jakarta pun meminta perusahaan media aktif membela wartawannya, termasuk melaporkan kasus kekerasan tersebut ke Kepolisian.
Selain itu, AJI Jakarta mendesak Dewan Pers terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Baik yang terjadi sepanjang aksi tanggal 24 September, maupun kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi pada waktu sebelumnya,” kata Asnil.
(Baca: Minta Pimpinan Datang, Mahasiswa Berusaha Jebol Gerbang DPR)