Ekspor dan Impor Anjlok, Surplus Dagang Tiongkok Naik pada September
Data ekspor dan impor Tiongkok pada September melemah lebih buruk dari perkiraan akibat Perang Dagang yang berlarut-larut dengan Amerika Serikat. Meski demikian, surplus neraca dagang Negara Tembok Raksasa ini justru meningkat hampir US$ 5 miliar pada September jika dibanding Agustus.
Dikutip dari Reuters, data Bea Cukai Tiongkok menunjukkan ekspor pada September turun 3,2% dari tahun sebelumnya, penurunan terbesar sejak Februari. Ini lebih buruk dari perkiraan Analis dalam jajak pendapat Reuters sebesar 3% yang sebenarnya memburuk dari realiasi bulan sebelumnya yang turun 1%.
"Angka-angka utama ini menunjukkan bahwa permintaan global melemah bulan lalu, menambah tekanan dari tarif AS yang mulai berlaku pada bulan September," kata Analis di Capital Economics.
Beberapa ekonom menghubungkan penurunan ekspor dengan memudarnya efek memperbesar ekspor sebelum kenaikan tarif. Beberapa perusahaan Tiongkok bergegas mengirimkan barang ke Amerika Serikat menjelang tenggat waktu September terlihat dari data ekspor Juli dan Agustus secara keseluruhan.
Total impor September turun 8,5% setelah penurunan 5,6% Agustus, terendah sejak Mei. Analis sebelumnya memperkirakan penurunan ekspor hanya mencapai 5,2%.
(Baca: AS-Tiongkok Rujuk, Trump Umumkan Kesepakatan Dagang Tahap 1)
Adapun secara keseluruhan, Tiongkok masih mencatatkan surplus neraca perdagangan US$ 39,65 miliar, lebih tinggi dibanding bulan lalu sebesar US$ 34,84 miliar. Surplus ini juga lebih tinggi dari perkiraan analis yang mencapai US$ 33,3 miliar.
Sementara itu, surplus perdagangan dengan Amerika Serikat mencapai US$ 25,88 miliar pada September, turun dibandingkan bulan sebelumnya US$ 26,96 miliar.
Adapun ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat pada Januari-September 2019 turun 10,7% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan impor AS turun 26,4% pada periode yang sama.
September menandai eskalasi besar dari perang dagang antara kedua negara yang ditandai dengan kenaikan tarif oleh Washington sebesar 15% pada produk Tiongkok senilai lebih dari US$ 125 miliar mulai 1 September 2019. Tindakan ini menunai balasan dari Beijing.
(Baca: Bank Dunia Pangkas Lagi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia)
Namun dari hasil negosiasi dagang yang digelar pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan fase pertama kesepakatan untuk mengakhiri perang dagang antara kedua negara. Trump juga menunda kenaikan tarif yang semula akan dilakukan pada produk Tiongkok senilai US$ 250 miliar pada 15 Oktober 2019.
Meski ada tanda-tanda tentatif mencairnya hubungan dagang Tiongkok dan AS, data yang suram ini meningkatkan harapan bahwa Beijing akan lebih banyak mengeluarkan langkah-langkah stimulus guna mencegah penurunan ekonomi yang lebih tajam.
Pemerintah Tiongkok telah menggelontorkan sejumlah langkah stimulus lebih dari satu tahun, permintaan domestik Tiongkok masih lemah seiring ketidakpastian ekonomi yang membebani kepercayaan bisnis dan konsumen.
Sebelumnya, kajian tengah tahun INDEF menyebutkan, perang dagang yang tengah memanas di antara dua raksasa ekonomi, AS dan Tiongkok, berdampak pada kinerja ekspor beberapa negara. Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena dampak negatif dari perang dagang terhadap ekspor, yaitu diperkirakan minus 0,24% hingga akhir 2019 seperti terekam databooks di bawah ini.