Larangan Ekspor Bijih Nikel Dipercepat, Pengusaha Mengeluh Rugi
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan percepatan larangan ekspor bijih nikel (ore) menuai keluhan dari para pengusaha. Semula, larangan dijadwalkan berlaku pada 2022, kemudian dimajukan menjadi 2020, dan dimajukan lagi menjadi Selasa ini, 29 Oktober 2019. Para pengusaha mengeluh rugi akibat percepatan tersebut.
Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, beberapa perusahaan sudah membayar kapal, menambah alat berat, dan area baru untuk meningkatkan produktifitas."Akhirnya semua itu tidak terpakai. Rugi duit seberapa bisa dibayangkan? Saya bisa bayangkan, mereka sudah pinjam dana, akhirnya kembali terpuruk," ujarnya kepada katadata.co.id, Selasa (29/10).
(Baca: Larangan Ekspor Dipercepat, Saham Perusahaan Nikel Menghijau)
Adapun APNI menyatakan pihaknya mengajukan enam syarat kepada Pemerintah untuk pelaksanaan larangan ekspor bijih nikel, di antaranya, harga jual dalam negeri harus sesuai Harga Patokan Mineral (HPM) mulai 1 November 2019. Syarat lainnya, APNI meminta batasan kadar ore untuk ekspor maksimal 1,7%. Kemudian, penggunaan dua surveyor untuk pelabuhan bongkar muat. Jika terjadi perbedaan kadar, harus dihadirkan surveyor ketiga yang disepakati bersama.
Selanjutnya, Pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap smelter atau pemegang izin usaha pertambangan yang tidak mengikuti HPM. Berikutnya, APNI menunggu kepastian hukum, aturan regulasi yang mengatur tata niaga nikel domestik. Terakhir, APNI menjadi mata dan saksi di lapangan untuk ikut memantau perdagangan ore.
(Baca: Larangan Ekspor Bijih Nikel Berlaku, ESDM Evaluasi Pembangunan Smelter)
Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, pemerintah melakukan percepatan pelarangan ekspor bijih nikel dari 2022 menjadi 1 Januari 2020. Tapi pelarangan tersebut malah dipercepat oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi 29 Oktober 2019.