Mendag Evaluasi Rencana Balasan Tarif Produk Susu ke Uni Eropa
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto akan mengevaluasi rencana pengenaan tarif balasan terhadap produk susu (dairy products) Uni Eropa. Menurutnya, wacana pengenaan tarif bea masuk tersebut tidak bisa langsung diberlakukan.
"Kita evaluasi dulu semuanya. Jadi tidak bisa serta merta kami putuskan," kata dia di Jakarta, Kamis (21/11).
Kemendag akan melihat perkembangan hubungan antara Indonesia dan Benua Biru dalam proses perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Aggreement (IEU-CEPA).
(Baca: Kemendag Sebut Rencana Balasan Tarif Produk Susu ke Uni Eropa Wajar)
Dalam perundingan itu, Indonesia akan mengangkat isu sawit. Seentara rencana pengenaan dairy products akan disampaikan dalam pembahasan IEU-CEPA berikutnya. "Namun tidak spesifik membahas produk itu saja," ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan 2014-2019 Enggartiasto Lukita mengancam bakal mengenakan tarif bea masuk pada dairy products Uni Eropa sebesar 20-25%. Langkah tersebut untuk merespons tindakan Uni Eropa yang menjegal produk biodiesel Indonesia dengan tarif bea masuk anti-subsidi sebesar 8-18%.
Tak hanya itu, Enggar juga meminta importir produk susu olahan (dairy products) untuk mencari pemasok selain Eropa, seperti Australia, India, New Zealand, atau Amerika Serikat.
(Baca: Diskriminasi Sawit, Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO Tahun Ini)
Sementara itu, Uni Eropa berpendapat Indonesia dapat melanggar ketentuan WTO jika menaikkan bea masuk produk susu sebagai balasan terhadap tindak diskriminasi sawit. Sebab, ini merupakan bentuk aksi balasan (retaliasi) yang bertentangan dengan regulasi organisasi perdagangan dunia (WTO).
"WTO tidak mengizinkan dan benar-benar melarang pembalasan, dalam hal ini (pengenaan tarif) produk susu," kata Head of the Economic and Trade Section Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Raffaele Quartodi.
Tindakan tersebut juga menurutnya tidak bisa diterima dalam hubungan antar negara maupun negosiasi perdagangan bebas. Di sisi lain, retaliasi juga dapat merugikan ekonomi Indonesia, terutama bagi industri yang menggunakan produk susu dan turunannya.