Pemerintah Didesak Ratifikasi Konvensi Anti-Orang Hilang

Dimas Jarot Bayu
26 November 2019, 18:30
Pemerintah Didesak untuk segera meratifikasi Konvensi Anti-Orang Hilang.
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Dewan Penasehat IKOHI Mugiyanto (kanan) didampingi Deputi Koordinator KontraS Feri Kusuma (kiri), Keluarga korban penghilangan paksa Paian Siahaan (kedua kanan) dan Tarmizi (kedua kiri) menyampaikan keterangan pers di Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), dan Asia Federation Against Involuntary Disappearance (AFAD) mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Praktik penghilangan paksa kerap terjadi dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru.

Advertisement

KontraS mencatat, penghilangan paksa terjadi pada peristiwa 1965-1966, Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1975. Penghilangan paksa juga terjadi dalam kasus Talangsari 1989, DOM Aceh dan Papua, Penembakan Misterius 1981-1985, dan penculikan aktivis 1997/1998.

Wakil Koordinator KontraS Feri KusumaPraktik menyatakan, praktik penghilangan paksa masih terjadi saat ini. Dia mencontohkan, salah satu kasus penghilangan saksi persidangan bernama Domiri dalam kriminalisasi petani Serikat Mandiri Batanghari (SMB) Jambi.

(Baca: Bentuk KKR, Mahfud MD Bakal Undang Keluarga Korban Pelanggaran HAM)

Kasus serupa terjadi kepada aktivis Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-Ko), Ricky Arasendi. Ricky dikabarkan menghilang sejak 8 November 2019 setelah gencar menolak rencana operasi perusahaan tambang di Gayo.

Ada pula aktivis Walhi Sumatera Utara Golfrid Siregar yang diketahui sempat hilang beberapa waktu lalu sejak Rabu (2/10). Belakangan, Golfrid diketahui tewas pada Minggu (6/10) sore setelah sempat mendapat perawatan medis selama tiga hari di RSUP H Adam Malik Medan.

"Kekhawatiran tiap orang alami penghilangan besar. Pola lama seperti di zaman Orde Baru masih terjadi, makanya kami upayakan biar enggak terjadi asal ada kemauan dari negara meratifikasi konvensi ini," kata Feri di A-One Hotel, Jakarta, Selasa (26/11).

Menurut Feri, ratifikasi konvensi dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan semua orang dari penghilangan paksa. Selain itu, ratifikasi konvensi bakal menguntungkan Indonesia karena memperkuat sistem legislasi dan supremasi hukum dalam negeri.

Hal tersebut, lanjut Feri, berkaitan dengan pemberian kepastian hukum bagi korban dan keluarganya. Dalam kasus-kasus penghilangan orang secara paksa, kepastian hukum dapat memberikan afirmasi akan keberadaan korban.

"Kepastian hukum tentunya juga penting bagi masyarakat agar terhindar dari segala bentuk tindakan penghilangan secara paksa dan mencegah keberulangan praktik penghilangan paksa," kata Feri.

(Baca: Moeldoko: Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Terkendala Bukti)

Selain itu, Feri menilai ratifikasi konvensi akan membuktikan bahwa pemerintah Indonesia memiliki komitmen tinggi dalam mendorong dan menegakkan HAM. Tak hanya itu, citra Indonesia akan semakin baik di mata dunia.

Terlebih, Indonesia telah ditunjuk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB hingga 2020 dan Dewan HAM PBB periode 2020-2022. "Disahkannya konvensi ini akan menunjukkan pemerintah Indonesia memiliki komitmen terhadap pemenuhan hak-hak korban seperti hak keadilan, hak kebenaran, hak reparasi dan jaminan ketidakberulangan," kata dia.

Reporter: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement