Presiden Trump Dukung Demonstran Hong Kong, Harga Minyak Dibuka Turun
Harga minyak mentah dunia melemah pada pembukaan perdagangan hari ini (29/11). Salah satu penyebabnya, pasar khawatir ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok meningkat, setelah Presiden Donald Trump menandatangani undang-undang (UU) yang mendukung demonstran pro-demokrasi di Hong Kong.
Berdasarkan data Reuters, harga minyak jenis Brent melemah 10 sen menjadi US$ 63,77 per barel pada pembukaan hari ini. Sedangkan minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik tipis 2 sen menjadi US$ 58,13 per barel. Namun, harganya turun menjadi US$ 58,06 per barel pada pukul 8.13 WIB.
Chief Market Strategist di FXTM Hussein Sayed mengatakan, keputusan Presiden Trump tersebut membuat pasar kembali khawatir terkait negosiasi dagang AS dan Tiongkok. “Pasar kemungkinan akan mempertanyakan perjanjian perdagangan tersebut karena Tiongkok telah menegaskan kembali ancaman pembalasannya,” kata dia dikutip dari Reuters, Jumat (29/11).
(Baca: Buntut Pengesahkan UU Demokrasi Hong Kong, Tiongkok Ancam Balas AS)
Pemerintah Tiongkok memberi peringatan kepada AS bahwa mereka akan mengambil langkah tegas terkait Hong Kong. Namun, Presiden Trump justru menandatangani UU yang mendukung demonstran anti pemerintah di Hong Kong.
“Jika investor mencurigai bahwa perjanjian perdagangan berada dalam bahaya nyata, diperkirakan ada aksi jual tajam pada Desember,” kata Hussein. Untuk saat ini, menurut dia investor mengambil pendekatan menunggu dan melihat (wait and see).
Selain itu, pergerakan harga minyak dunia dipengaruhi oleh persediaan minyak mentah AS yang membengka menjadi k 1,6 juta barel pada pekan lalu. Hal ini karena produksi AS meningkat hingga menyentuh rekor 12,9 juta barel per hari (bph).
(Baca: Ada Optimisme Negosiasi Dagang AS-Tiongkok, Harga Minyak Tetap Melemah)
Di sisi lain, investor memantau pertemuan negara-negara pengekspor minyak alias Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) di Wina pada 5 Desember. Acara ini bakal dihadiri banyak produsen minyak, termasuk Rusia.
Negara-negara tersebut dikenal sebagai OPEC+, yang sepakat untuk memangkas produksi. "Kami mengharapkan OPEC+ menggulirkan kesepakatan pengurangan produksi saat ini, yang akan berakhir pada Maret, tiga hingga enam bulan," kata Analis Minyak UBS Giovanni Staunovo.
Perusahaan minyak Rusia mengusulkan untuk tidak mengubah kuota produksi mereka sebagai bagian dari kesepakatan global hingga akhir Maret. Hal ini memberikan tekanan pada OPEC+ untuk menghindari perubahan kebijakan.
(Baca: Ditopang Harapan Negosiasi Dagang, Harga Minyak Menanjak di Awal Pekan)