Gugatan Sawit di WTO Tak Ganggu Perundingan Dagang RI-Uni Eropa
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan perundingan dagang Indonesia dan Uni Eropa tidak akan terganggu proses gugatan diskriminasi sawit ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, pembahasan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dapat dijalankan beriringan dengan gugatan pemerintah ke WTO.
"Perundingan tetap berjalan. Bisa berjalan secara pararel," kata Agus di Hotel Mandarin, Jakarta, Senin (16/12).
Menurutnya, gugatan Uni Eropa ke WTO memang sudah seharusnya dilakukan untuk mendukung produk sawit dalam negeri. Sebab, kebijakan Uni Eropa akan berdampak negatif terhadap ekspor minyak sawit Indonesia.
(Baca: Uni Eropa Berlakukan Bea Masuk 18% ke Biodiesel RI selama 5 Tahun)
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo pun mengatakan, berbagai sengketa dagang dengan Benua Biru tersebut tidak akan mempengaruhi perundingan IEU CEPA.
Beberapa kasus sengketa dagang Indonesia dan Uni Eropa yang telah diadukan ke WTO di antaranya adalah kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel (ore), diskriminasi minyak sawit, dan tudingan subsidi biodesel.
"Kan sayang karena kasus yang biasa-biasa saja itu, lalu menghentikan perundingan Indonesia-EU CEPA," ujar dia.
Menurutnya, pemerintah dan Kepala Negosiasi Uni Eropa pun telah sepakat untuk tetap melanjutkan perundingan dagang kedua negara.
Adapun, salah satu perjanjian yang akan dinegosiasikan terkait sawit. Iman menyatakan, Uni Eropa telah sepakat untuk menghapus bea masuk sejumlah pos tarif produk sawit saat IEU- CEPA mulai berlaku.
Dari sisi kebijakan non-tarif, Indonesia dan Uni Eropa juga akan membahas isu lingkungan dan hak pekerja petani sawit. "Kami bicarakan sustainability (keberlanjutan sawit). Tapi kami juga tidak fokus pada sawit saja," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Kemendag secara resmi menggugat Uni Eropa ke WTO terkait diskriminasi kelapa sawit Indonesia. Pemerintah mengajukan gugatan pada Senin (9/12) di Jenewa, Swiss.
(Baca: Dubes Eropa Sebut Sengketa Nikel Tak Pengaruhi Perundingan Dagang RI)
Kebijakan yang digugat pemerintah yaitu Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa. Kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel dari Indonesia.
Dampaknya, ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa menjadi negatif. Di sisi lain, citra produk kelapa sawit dapat terus buruk di perdagangan global.
Data statistik BPS menunjukkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa terus menunjukkan tren negatif pada lima tahun terakhir. Nilai ekspor FAME mencapai US$ 882 juta pada periode Januari–September 2019, turun 5,58% dibandingkan periode yang sama pada 2018 sebesar US$ 934 juta.
Sedangkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 6,96% dari US$ 3,27 miliar pada periode Januari–September 2018 menjadi US$ 3,04 miliar secara tahunan. Berikut, data ekspor sawit ke Eropa seperti yang ditampilkan dalam databoks berikut.