Upaya DKI Tangani Banjir dan Normalisasi Ciliwung, dari Ahok ke Anies
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebut mandeknya proyek normalisasi Sungai Ciliwung sejak 2018 sebagai salah satu penyebab parahnya banjir di Jakarta yang terjadi sejak malam tahun baru. Proyek ini juga terkendala proses pembebasan lahan.
"Mohon maaf, Bapak Gubernur. Selama penyusuran Kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 km itu yang sudah dinormalisasi baru 16 km," kata Basuki kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seperti dikutip Detikcom, di Monas, Jakarta Pusat, Rabu (1/1). Daerah aliran sungai yang sudah dinormalisasi tidak tergenang banjir. Sementara itu, daerah yang belum dinormalisasi tergenang.
Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah, proyek normalisasi Sungai Ciliwung terkendala pembebasan lahan lantaran warga masih berkukuh menghuni bantaran sungai. Padahal, sudah ada rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang disediakan untuk relokasi penduduk yang tinggal di pinggir Sungai Ciliwung.
Seperti dilansir CNNIndonesia.com, lahan yang dibutuhkan untuk normalisasi Sungai Ciliwung mencapai 46,47 hektare (ha) tetapi yang sudah dibebaskan baru 16,04 ha. Di sisi lain, proses pengerukan juga terkendala oleh penyempitan luas sungai. "Seharusnya sungai semakin lebar dan luas. Idealnya 40-50 meter, ini Ciliwung-Cisadane justru semakin lama semakin kecil," ujar Bambang.
(Baca: Curah Hujan Catat Rekor Tertinggi, 103 Titik Banjir Kepung Jakarta)
Sejarah Normalisasi Sungai Ciliwung
Bagaimana latar belakang sejarah proyek normalisasi Sungai Ciliwung yang digadang-gadang menjadi solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta? Menurut penjelasan di situs pu.go.id, normalisasi Sungai Ciliwung merupakan proses pembuatan dinding turap beton pada sisi sungai sedalam 10-12 meter. Proyek ini diprakarsai oleh Kementerian PUPR bersama BBWSCC, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2012.
Tujuan dari normalisasi Sungai Ciliwung adalah untuk mengembalikan kondisi lebar sungai menjadi 35-50 meter. Dengan demikian, kapasitas Sungai Ciliwung untuk menampung air dapat ditingkatkan dari 200 m3 per detik menjadi 570 m3 per detik. Ide untuk melakukan normalisasi Sungai Ciliwung ini muncul setelah Jakarta mengalami banjir besar pada 17 Januari 2012.
Pekerjaan normalisasi Sungai Ciliwung mencakup penguatan tebing, pembuatan tanggul, dan jalan inspeksi, serta menata kawasan di sepanjang sisi sungai. Pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta juga membuat sodetan dari wilayah Bidara Cina ke Kanal Banjir Timur (KBT). Rencana desain KBT ini sebenarnya sudah selesai dibuat pada 1973, hasil kerja sama pemerintah Indonesia dengan Netherland Engineering Consultant (NEDECO) yang mengadopsi konsep Kanal Banjir van Breen dan Rencana Draiase Komprehensif seluruh Jawa Barat yang diajukan oleh W.J. van Bloemenstein. Namun, proyek ini lama terhenti lantaran kekurangan dana.
(Baca: Kementerian PUPR Minta Sandiaga Percepat Lahan Sodetan Ciliwung)
Proyek sodetan Ciliwung yang merupakan proyek multiyears dengan anggaran Rp 500 miliar ini dimulai pada 2013 dan ditargetkan tuntas pada 2015. Namun, lagi-lagi terkendala masalah pembebasan lahan. Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menggusur warga Bidara Cina. Warga Bidara Cina pun menggugat tindakan Pemprov DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Gugatan yang diajukan lima orang warga yang mewakili 250 kepala keluarga di Kelurahan Bidara Cina itu dimenangkan PTUN pada 25 April 2016. Majelis hakim PTUN menilai Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 tentang penetapan lokasi pembangunan sodetan Sungai Ciliwung ke KBT melanggar asas-asas pemerintahan yang baik karena dilakukan tanpa sosialisasi terlebih dahulu.
Pemprov DKI Jakarta lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2016. Pada proses kasasi, PTUN akhirnya mengabulkan permohonan banding yang diajukan Pemprov DKI. Namun, kasasi itu dicabut oleh Pemprov DKI Jakarta di bawah pemerintahan Anies Baswedan. Seperti dilansir Republika.co.id, Anies ingin segera menuntaskan pembebasan lahan sehingga proyek tersebut bisa dilanjutkan. Ia khawatir proyek sodetan Ciliwung tak kunjung selesai jika proses kasasi diteruskan.
"Jadi, kami terima keputusan itu. PUPR dan DKI bersama-sama, tidak jadi banding. Dengan kami terima, eksekusi (pembebasan lahan) bisa jalan," ujar Anies seperti dikutip Republika.co.id, Kamis (19/9/19).
(Baca: Jokowi: Bendungan Ciawi dan Sukamahi akan Kurangi Banjir di Jakarta)
Pembelaan Anies dan Naturalisasi Sungai
Gubernur Anies langsung menanggapi pernyataan Menteri Basuki soal mandeknya proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Menurutnya, banjir di Jakarta tetap tidak akan bisa dikendalikan selama aliran air dari selatan dibiarkan masuk ke Jakarta.
Anies mencontohkan banjir di Kampung Melayu yang terjadi pada Maret 2019. Padahal, di kawasan tersebut sudah dilakukan normalisasi aliran sungai. Ia menyebut dua bendungan yang menjadi proyek strategis di Kementerian PUPR, yakni Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi bisa mengatasi banjir di Jakarta.
"Kalau dua bendungan itu selesai, volume air yang masuk ke pesisir bisa dikendalikan. Selama kita membiarkan air mengalir begitu saja, selebar apapun sungainya, volume air akan luar biasa," kata Anies seperti dikutip Bisnis.com, Selasa (1/1). Hal ini disebabkan semakin banyak kawasan di hulu sungai yang digunakan untuk perumahan sehingga air tidak terserap ke dalam tanah dan langsung mengalir ke sungai.
Anies pun memiliki program yang disebut sebagai naturalisasi untuk pengendalian banjir. Program tersebut ditetapkan dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Seperti dikutip dari Kompas.com, naturalisasi adalah cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, dan konservasi. Anies mengatakan, dengan konsep ini tidak akan ada penggusuran untuk merevitalisasi sungai.
Berbeda dengan normalisasi Sungai Ciliwung yang menggunakan turap beton, dalam naturalisasi digunakan bronjong batu kali. Untuk itu, Pemprov DKI harus menyediakan lahan selebar 12,5 meter di kiri dan kanan sungai untuk membangun tebing tersebut. Naturalisasi juga mencakup penanaman bantaran sungai yang sudah dibersihkan dengan berbagai tanaman.
(Baca: Jokowi Minta Pemerintah Pusat dan Daerah Bekerjasama Tangani Banjir)