Tantangan Jurnalisme Data di Era Hoaks dan Disinformasi

Adek Media Roza
22 Januari 2020, 08:00
Adek Media Roza
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO

Dalam satu dekade terakhir, jurnalisme data (JD) menjadi istilah popular di kancah jurnalistik dunia. Di berbagai konferensi jurnalistik, ruangan yang menggelar sesi JD selalu dipenuhi peserta. Di Eropa, sejak 2017, konferensi JD bahkan digelar secara khusus, bukan hanya pelengkap acara kumpul wartawan. Para pembicara berbagi kiat, mulai dari mencari, mengolah data, hingga visualisasi. Karya yang dihasilkan, antara lain oleh, the New York Times dan Guardian menjadi contoh yang memanjakan mata peserta konferensi.

Di dunia akademik, “genre baru” jurnalistik tersebut mendapat karpet merah. Columbia Journalism School menawarkan program tiga semester Master in Data Journalism. Program master juga ditawarkan di Cardiff University dan Birmingham University di Inggris, serta sejumlah negara Eropa lainnya. Di belahan selatan, Melbourne University di Australia menawarkan program serupa sejak 2013. Dan tentu saja, sejumlah media dengan sigap membentuk divisi atau tim khusus jurnalis data untuk menghasilkan produk genre tersebut.

Di Indonesia, JD menemukan momentumnya dalam lima tahun terakhir—yang saya sebut sebagai era hoaks dan disinformasi. Penyebaran berita bohong di Indonesia memang tidak lepas dari peran media sosial sebagai platform alternatif untuk menyebarkan informasi. Alih-alih menjadi penyaring, sebagian media arus utama malah ikut menyebarkan apa yang ramai di media soal tanpa verifikasi yang memadai. Maka, JD diharapkan mengembalikan jurnalis pada disiplin verifikasi, dan mempertahankan kepercayaan publik pada pers.

Kerja Pers Berbasis Kekuatan Big Data dan Teknologi

Lalu, apa yang disebut JD? Kalau jurnalis hanya menggunakan data, tentu tidak ada yang baru. Namun, tiap jurnalis memiliki penjelasan berbeda ihwal JD. Ada yang menyebut bahwa JD adalah pemanfaatan big data sebagai material pembuatan berita. Sebagian mengatakan JD adalah penggunaan piranti lunak tertentu untuk memproses dan memvisualisasikan data. Dari berbagai definisi tersebut, boleh disimpulkan bahwa JD adalah kerja pers yang mengandalkan kekuatan (termasuk big) data dan didukung teknologi terkini.

Seperti disebutkan di atas, rujukan karya JD datang dari media-media Barat seperti The New York Times dan Guardian. Dalam berbagai konferensi internasional, data jurnalis dari media-media tersebut juga didapuk menjadi pembicara dan instruktur. Studi tentang JD juga lebih banyak mengambil kasus di negara-negara belahan utara bumi ini. Selain dukungan sumber daya yang lebih kuat di media tersebut, JD tumbuh seiring realisasi komitmen keterbukaan di lembaga-lembaga pemerintahan.

Ilustrasi big data
Ilustrasi big data (123RF.com/melpomen)

Kerja JD memang banyak bergantung pada keterbukaan informasi pemerintahan. Di negara dengan indeks demokrasi yang lebih tinggi, data publik tersedia di website setiap instansi secara detail dan mudah diunduh. Seorang jurnalis di London, misalnya, bisa memperoleh data lokasi kejadian atau jenis kriminalitas dengan mengunduh atau mengirim surat elektronik (e-mail) ke kantor polisi. Pengalaman penulis ketika menjadi reporter, permintaan data ke lembaga pemerintah, apalagi di tingkat daerah, sangat langka terkabul.

Halaman:
Adek Media Roza
Adek Media Roza
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...