Survei: Hampir Separuh Pelaku Industri Keuangan Tak Puas Kinerja OJK
Hasil survei yang dilakukan Citiasia dan Biro Riset Infobank menunjukkan hampir separuh praktisi keuangan tak puas dengan kinerja OJK dalam pengaturan dan pengawasan lembaga kuangan.
Survei dilakukan terhadap 184 responden yang merupakan praktisi industri keuangan dengan posisi setingkat manajer ke atas. Para responden tersebut berasal dari 114 institusi jasa keuangan, baik perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa pembiayaan khusus.
Adapun area yang disurvei mencakup pengaturan dan pengawsan terkait kelembagaan, kesehatan, kehati-harian pemeriksaan, dan perlindungan konsumen.
Hasil studinya menunjukan hanya 59,3% responden yang menilai kinerja OJK secara keseluruhan sudah cukup baik. Secara komposit, indeks persepsi kinerja pengaturan dan pengawasan terkait kelembagaan mencapai 63,2%, kesehatan sebesar 59,3%, kehati-hatian 66.5%, pemeriksaan 59.9%, dan perlindungan konsumen 58,8%.
Adapun berdasarkan kelompok industri, lembaga pembiayaan mencatatkan indeks persepsi terendah yakni hanya mencapai 51,9%, diikuti perbankan 55%, lembaga jasa keuangan khusus 63,3% dan kelompok asuransi 65,2%.
(Baca: Merunut Kelalaian Pemerintah dan OJK dalam Masalah Jiwasraya)
Temuan survei tersebut, praktisi keuangan menilai kinerja pengaturan pengawasan OJK belum maksimal. OJK dinilai mempersempit pengembangan dan ruang inovasi industri keuangan, baik dari sisi pengelolaan risiko, pengembangan industri, maupun keberlanjutan usaha.
Adapun para praktisi perbankan juga menyoroti belum jelasnya arah pengembangan industri, lemahnya kekuatan dan pemahaman bisnis dan teknis regulator, serta belum maksimalnya peran mediasi dan edukasi regulator terhadap pemegang saham.
Salah satu yang menarik, para praktisi perbankan yang disurvei paling keberatan dengan iuran yang harus dibayarkan kepada OJK mencapai 53,3%. Para responden tersebut membandingkan dengan kinerja pengawasan sebelumnya saat berada di bawah BI dan menilai belum ada dampak nyata dan positif atas pengawasan OJK.
Sementara itu, hanya 37% responden dari industri asuransi dan lembaga pembiayaan yang keberatan dengan iuran OJK. Adapun keberatan dari lembaga keuangan khusus mencapai 49%.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan rendahnya peran pengawasan OJK dan saran agar peran OJK dikembalikan lagi ke BI menjadi masukan paling fundamental. "Banyaknya celah pengawasan dan penyelesaian sengketa perlu perbaikan," ujarnya.
(Baca: DPR: Oknum OJK Terlibat Kasus Jiwasraya, Pengawasan Bisa Kembali ke BI)
Menurutnya, setidaknya terdapat tiga hal yang dapat dilakukan OJK. Pertama, menambah sumber daya manusia untuk pengawasan, khususnya di industri keuangan nonbank.
Kedua, mengefektifkan anggarannya. Lembaga ini diminta menunda rencana pembangunan gedung dan menambah alokasi anggaran perlindungan nasabah.
Ketiga, memperketat pengawasan ke pasar modal, khususnya saham-saham kapitalisasi kecil dan pencatatan perdana saham, sehingga jumlah saham gorengan bisa ditekan.
Sebelumnya, S&P Global Rating menilai perbankan Indonesia memiliki risiko lebih tinggi dibanding beberapa negara di kawasan Asia Pasifik. Sementara itu, sejumlah masalah mencuat di industri keuangan nonbank, mulai dari gagal bayar Bumiputera dan Jiwasraya hingga yang terbaru gagal bayar dana investor reksa dana pada PT Emco Asset Management.