Kesepakatan Dagang Tahap I AS-Tiongkok Masih Penuh Risiko

Agustiyanti
30 Januari 2020, 12:30
IDE Katadata 2020
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Patrick Walujo (Co-Founder, Managing Partner and Member Of The Investment Commite at Nortstar) memaparkan materi dalam diskusi di acara Indonesia Data and Economic (IDE Katadata) 2020 di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2020).

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok selama dua tahun terakhir mereda dengan kesepakatan dagang tahap I yang diteken 15 Januari lalu. Namun, kesepakatan dagang tersebut dinilai masih memiliki sejumlah risiko yang dikhawatirkan dapat kembali memantik gejolak pada perekonomian global.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan pemerintah saat ini terus memantau bagaimana dampak kesepakatan dagang tahap I antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang diteken pada pertengahan bulan ini. Kesepakatan antara kedua negara dinilai masih memiliki risiko terhadap perekonomian global.

"Kami terus pantau seberapa besar kesuksesan kesepakan ini, seberapa besar dampaknya terhadap mata rantai pasokan global," ujar Retno dalam Indonesia Data and Economic Conference atau IDE Katadata 2020 yang diselenggarakan Katadata di Grand Balroom Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1).

Menurut Retno, terdapat target perdagangan yang harus dipenuhi dalam jumlah tertentu pada kesepakatan dagang tahap I. Hal ini, menurut dia, berpotensi mengganggu rantai pasokan yang sebelumnya sudah berjalan.

"Ini juga penting untuk dicermati oleh para pebisnis Indonesia," terang Retno.

(Baca: BKPM: Investasi Tiongkok Turun Jika Virus Corona Tak Tuntas 2 Bulan)

Adapun salah satu poin kesepakatan dagang I yakni Tiongkok berjanji untuk meningkatkan pembelian barang dan jasa dari AS mencapai U$ 200  miliar dalam dua tahun.

Menurut riset Fitch Ratings dan Oxford Economics, eskalasi perang dagang menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan global. Berikut dampaknya terhadap sejumlah negara seperti terlihat dalam databoks.

Retno juga menekankan proteksionisme yang merebak di dunia dan ketidakpastian global yang terus terjadi. Apalagi menurut dia, sanksi ekonomi sering kali digunakan sebagai perpanjangan tangan untuk memenangkan rivalitas antarnegara.

"Saat ini kita hidup di dunia yang tidak mudah, semua sangat encer, dinamis, dan banyak ketidakpastian. Rivalitas di bidang politik meningkat dan sanksi ekonomi sering digunakan sebagai kepanjangan tangan," ungkap dia.

Dalam menghadapi ketidakpastian global, menurut dia, diplomasi akan menjadi salah satu andalan pemerintah dalam mendukung perekonomian. Menurut dia, diplomasi ekonomi tak hanya penting untuk menarik investasi luar negeri ke dalam negeri tetapi juga menjaga investasi Indonesia di luar negeri.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria, Cindy Mutia Annur
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...