Amerika Serikat (AS) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Masuknya Indonesia dalam daftar negara maju versi AS memang terdengar seperti pujian. Namun, benarkah Negara Paman Sam ‘semanis’ itu?

Indonesia tak sendiri. Beberapa negara lain seperti Tiongkok, India, Afrika Selatan, hingga Brasil mengalami nasib serupa. Tiongkok bahkan meradang dan menyebut AS bersikap ‘proteksionis’ dalam perdagangan dunia.

Advertisement

Penyebutan Indonesia dan beberapa negara lain sebagai negara maju memang dilematis. Predikat negara maju seharusnya disematkan pada negara-negara yang masyarakatnya menikmati standar hidup tinggi dengan penggunaan teknologi yang merata.

Berikut ini perbandingan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di antara negara-negara anggota G20: 

Apakah Indonesia telah memenuhi kriteria itu? Yang pasti, baik Indonesia, Tiongkok, Brasil, India hingga Afrika Selatan masih ada dalam daftar negara berkembang versi Dana Moneter Internasional (IMF).

(Baca: Beda Daftar Negara Berkembang versi AS dan IMF, Di Mana Indonesia?)

Masalahnya, masuk dalam daftar negara maju akan membuat Indonesia terancam kehilangan beberapa fasilitas dalam perdagangan dengan AS. Misalnya, insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP). GSP merupakan program unilateral pemerintah AS berupa pembebasan tarif bea masuk kepada negara-negara berkembang.

Tanpa fasilitas GSP, Indonesia harus membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN). Hal itu dikhawatirkan dapat membuat produk Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar AS.

AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump memang menekankan upaya untuk menyehatkan neraca dagangnya. Sedangkan, Indonesia merupakan salah satu dari 15 negara yang menyumbang defisit terbesar dalam neraca dagang AS.

"Jadi, ketika begitu kita keluar dari negara berkembang ada konsekuensinya dari masalah fasilitas perdagangan. Kejadian ini akan membuat kita berisiko defisit,” kata Sekretaris Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam IDX Channel Economic Forum, Senin (24/02/2020).

Bagaimanapun, ia memastikan Indonesia tak akan kehilangan fasilitas GSP. Sebab, status penerima GSP didasarkan pada kriteria negara berkembang yang ditentukan oleh Bank Dunia.

(Baca: Dianggap Negara Maju, Pemerintah Pastikan RI Dapat Keringanan Tarif AS)

Tudingan Pemberian Subsidi

Klasifikasi negara berkembang itu bertujuan untuk membantu negara-negara miskin dalam mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengintegrasikan diri ke dalam sistem perdagangan global.

Namun, ada risiko lain yang mengancam. Susiwijono menyatakan, Indonesia bisa lebih mudah diperkarakan atas tuduhan memberikan subsidi terhadap komoditas ekspornya. "Kebijakan tersebut berdampak pada US countervailing duty investigations atau CVD," katanya.

Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menilai, Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dari AS. Sebab, batasan minimum atau de minimis toleransi untuk memberikan subsidi perdagangan untuk Indonesia lebih rendah dari sebelumnya.

Batas minimum nilai barang impor AS dari negara maju yang dibebaskan dari penyelidikan bea masuk anti subsidi berubah sebesar 1%, lebih kecil dari batas de minimis negera berkembang sebesar 2%.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement