Soroti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah, KPK: Ada Pemborosan Rp 3,6 T

Image title
6 Maret 2020, 18:09
KPK, pembangkit listrik, pln
ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Ilustrasi, pekerja memilah sampah saat uji coba pengoperasian mesin instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu, di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (2/8/2019). Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menyebut ada inefisiensi Rp 3,6 triliun dari proyek PLTSa.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengkaji pengelolaan sampah untuk Energi Baru Terbarukan atau EBT dalam sektor kelistrikan. Dari kajian tersebut, lembaga antirasuah itu menemukan infesiensi sebesar Rp 3,6 triliun dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan pihaknya menemukan permasalahan pembangkit listrik sampah dalam dua aspek, yakni model bisnis dan basis teknologi. Dari aspek bisnis, implementasi Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) terpisah dengan pemerintah daerah (pemda) dengan pengembang, serta pengembang dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

"Hal itu menyebabkan proses berlarut dan berpotensi kepada praktik bisnis yang tidak 'fair'," kata Ghufron seperti dilansir dari Antara pada Jumat(6/3).

Selain itu, Ghufron menyebut model bisnis pengembangan PLTsa hanya menguntungkan pengusaha. Sebab, pemda harus membayar jumlah sampah yang dikumpulkan biarpun tidak sesuai kuota. Sehingga biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah atau tipping fee dapat memberatkan anggaran APBD.

KPK juga menilai tarif beli listrik dengan model take or pay bisa memberatkan PLN. Pasalnya, PLN tetap membayar listrik yang dihasilkan PLTSa biarpun tidak sesuai stadar dan tegangan yang ditentukan.

(Baca: Potensi Besar di Balik Pengelolaan Sampah Plastik)

Jika PLTSa itu dijalankan, lanjut Ghufron, ada pemborosan anggaran yang akan ditanggung pemerintah."Semula berharap pengolahan sampah itu bisa mengentaskan sampah, menghasilkan energi, ternyata inefisiensi bisa sampai Rp 3,6 triliun per tahun," kata dia.

Ghufron menjelaskan jumlah inefisiensi tersebut dihitung dari biaya langsung pengolahan sampah yang dibayarkan ke badan usaha sebesar Rp 2,03 triliun per tahun, dan perkiraan subsidi yang harus dibayarkan ke PLN sebesar Rp1,6 triliun. Risiko beban anggaran pun menjadi signifikan karena masa kontrak PLTSa mencapai 25 tahun.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...