Kurs Rupiah Terpukul Paling Dalam di Asia, Apa yang Terjadi?

Martha Ruth Thertina
13 Maret 2020, 18:22
rupiah, kurs rupiah, nilai tukar rupiah, kurs rupiah melemah, virus corona, corona
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/hp.

Kurs rupiah melemah cepat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam sebulan belakangan. Ini seiring maraknya aksi jual di pasar saham dan obligasi global imbas wabah corona. Rupiah tak melemah sendirian, namun pelemahannya termasuk yang paling dalam dibandingkan sederet mata uang Asia.

Berdasarkan data Bloomberg, dalam kurun waktu sebulan, rupiah sudah anjlok nyaris 8%. Sedangkan rupee India, ringgit Malaysia dan won Korea Selatan melemah di kisaran 3%. Baht Thailand terkoreksi hampir 3%. Dolar Singapura dan peso Filipina melemah di kisaran 1%, yuan 0,46%.

Pelemahan kurs rupiah tampak sulit terbendung meskipun Bank Indonesia (BI) telah agresif melakukan intervensi guna menstabilkan kembali pasar dan kurs rupiah. Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan BI telah meningkatkan intensitas intervensi di pasar.

BI melakukan triple intervention yaitu intervensi di pasar valas harian (spot), pasar valas berjangka (DNDF), dan pasar obligasi negara atau Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, BI melakukan pelonggaran kebijakan terkait likuiditas valas perbankan dan kebijakan di pasar valas berjangka.

Sebagai gambaran, di pasar SBN, BI terpantau aktif melakukan aksi beli. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, per 11 Maret 2020, kepemilikan SBN oleh BI naik Rp 65 triliun dalam sebulan menjadi Rp 378,31 triliun (bruto), di saat kepemilikan asing merosot Rp 50 triliun dalam periode yang sama ke posisi Rp 1.015,87 triliun.

Lantas, apa yang menyebabkan kurs rupiah paling terpukul? Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan mayoritas kurs mata uang terpukul dalam kondisi saat ini. Rupiah mengalami pukulan berat belakangan lantaran pemerintah baru mengumumkan temuan kasus positif corona. Ditambah lagi, Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) baru menetapkan situasi pandemi untuk penyakit terkait virus ini.

Hal ini membuat pelaku pasar khawatir terhadap potensi dampaknya ke ekonomi domestik maupun global. Dari sisi domestik, ekspor nonmigas ke Tiongkok potensial terganggu seiring melambatnya aktivitas ekonomi di negara tersebut. Kegiatan produksi di dalam negeri juga mengalami risiko gangguan seiring terkendalanya bahan baku dari Negeri Tirai Bambu.

Di samping itu, ada masalah klasik yang membuat Indonesia mengalami tekanan kuat yaitu besarnya kepemilikan asing di pasar saham dan SBN. Setelah kepemilikan asing di SBN turun Rp 50 triliun sebulan ini saja, porsi kepemilikan asing tinggi yaitu 35,9% terhadap total SBN. “Sehingga movement dari investor asing kita lebih signifikan,” ujarnya.

Tak ayal, kurs rupiah tertekan. Apalagi, masih ada juga masalah klasik lainnya. Neraca transaksi berjalan Indonesia masih defisit. Ini menunjukkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valas dalam perdagangan internasional Indonesia.

Meski begitu, ia menilai reaksi pelaku pasar saat ini berlebihan. Alasannya, pemerintah Indonesia telah merilis sederet stimulus ekonomi untuk menopang laju perekonomian. BI juga sudah melakukan apa yang perlu dilakukan. Selain itu, “Perekonomian kita punya domestic market lebih besar, seharusnya lebih bertahan dibanding negara lainnya,” ujarnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...