Tangani Corona, RI Dinilai Belum Perlu Lockdown karena Berisiko Besar
Beberapa negara telah melakukan isolasi massal atau lock down bagi aktivitas warganya terkait pencegahan virus corona (Covid-19). Namun, meski jumlah kasus positif Covid-19 yang terus bertambah, Indonesia belum juga menerapkan kebijakan tersebut.
Adapun hingga hari ini, Minggu (15/3), jumlah kasus positif virus corona di Indonesia mencapai 117 kasus sejak diumumkan 2 Maret lalu, dengan 5 orang meninggal dunia, 8 orang berhasil sembuh, serta 7 orang lainnya diperkirakan akan sembuh.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan mengatakan, sejauh ini banyak saran bagi pemerintah untuk melakukan lock down. Namun, menurut dia, kebijakan itu belum akan menjadi pilihan pemerintah yang akan memperkuat pelacakan (tracing) terhadap masyarakat yang diduga terkena virus corona.
"(Kebijakan lock down) ini merupakan diskusi yang bertumbuh. Tapi sampai hari ini belum ada arahan untuk menjadi pilihan dalam konteks keputusan itu," ujar Abetnego pada sebuah acara diskusi di Jakarta, Minggu (15/3).
(Video: Mengapa Pemerintah Tidak Lockdown dari Pandemi Corona)
Apalagi, keputusan melakukan lock down bakal berimbas pada konsekuensi yang perlu dipertimbangkan secara matang, baik secara ekonomi maupun sosial.
Dia mengatakan, pemerintah tengah membangun kesadaran publik untuk membatasi aktivitas dalam jumlah besar sehingga penyebaran virus asal Wuhan, Tiongkok, ini bisa dihentikan. "Secara inisiatif, sebenarnya di beberapa daerah pun sudah melakukan pembatasan termasuk sekolah hingga tempat-tempat publik," ujar Abetnego.
Sependapat dengan Abetnego, Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan ada konsekuensi yang sangat besar apabila lock down dilakukan. Sedangkan saat ini Indonesia masih pada fase untuk memperkuat deteksi, pencegahan, serta memastikan tersedianya logistik medis seperti alat pelindung diri (APD).
"Jadi untuk lock down dengan statistik per hari ini dan tingkat penyebaran yang ada sampai hari ini, kami rasa belum perlu melakukannya," ujar Bobby.
(Baca: Antisipasi Covid-19, Jokowi: Saatnya Bekerja & Belajar dari Rumah)
Bobby mencontohkan, beberapa negara yang tidak memilih lock down sebagai opsi kebijakan pemerintahnya seperti Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Negara-negara itu menahan pertumbuhan jumlah kasus terinfeksi virus corona salah satunya dengan memperketat tes virus secara massal.
Dia menambahkan, konsekuensi-konsekuensi yang perlu diperhatikan pemerintah terkait lock down yakni tak hanya soal anggaran melainkan juga sosial, seperti penangguhan hak-hak sipil. "Jadi menurut kami, lock down itu adalah opsi yang paling terakhir," ujar Bobby.
Berbeda dengan Abetnego dan Bobby, Anggota Komisi IX DPR Saleh P. Daulay mengatakan bahwa opsi untuk lock down seharusnya tetap harus dibuka. Namun, menurut dia, pemerintah harus mengundang para ahli yang paham tentang virus ini sehingga nantinya keputusan yang diambil pun berdasarkan pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan.
"Kalau yang menjawab (keputusan lock down) ini hanya dari birokrasi, belum tentu mereka paham. Saya khawatir malah salah kita salah prediksi. Apalagi katanya banyak resiko yang ditimbulkan dari penetapan lock down," ujar Saleh.
(Video: Mengapa Pemerintah Tidak Lockdown dari Pandemi Corona)
Saleh mengatakan, perlu pertimbangan yang matang karena melihat jumlah terinfeksi virus corona di Indonesia terus bertambah. "Ada resiko pula, kalau tidak lock down, penyebaran bertambah masih dan itu kemungkinan membahayakan warga juga," ujar dia.
Apabila pemerintah belum berencana melakukan lock down sekalipun, dia mendesak agar pemerintah tetap mempersiapkan diri untuk lock down di masa yang akan datang. "Jangan sampai, tiba-tiba diperlukan (lock down) tetapi pemerintah tidak siap," ujar Saleh.
Wakil Kepala Eijkman Prof Herawati Sudoyo mengatakan, dalam perspektif kesehatan kebijakan lock down dapat dilakukan apabila diperlukan. Apalagi, kebijakan itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Namun, saya tidak melihat apakah (kebijakan lock down) itu diperlukan atau tidak. Yang jelas kita bisa melihat hasil yang dilakukan oleh Tiongkok, bagaimana dengan lock down (jumlah terinfeksi) turun," ujar Herawati.
(Baca: Erick Thohir Pastikan BUMN Beroperasi Normal Meski Covid-19 Mewabah)
Pemerintah Tiongkok sejak Januari lalu mengisolasi kota Wuhan dan beberapa kota di dekatnya yang menjadi episentrum Covid-19. Meski demikian, Tiongkok dan Indonesia adalah negara yang memiliki geografis yang berbeda sehingga ada kemungkinan cara tersebut tidak bekerja seefektif Tiongkok.
Adapun Herawati mengatakan, karantina yang dilakukan oleh pemerintah melalui Gugus Tugas pun perlu melibatkan para ahli epidemiologi agar dapat membuat analisis wabah penyakit ini dengan baik. Sebab, hasil analisis tersebut dapat menjadi bukti yang kuat bagi kebijakan yang diambil pemerintah berikutnya.
"Gugus Tugas dapat memberikan bukti dan perbandingan studi dengan negara yang sudah melakukan kebijakan berbeda. Dari situlah, analisis berdasarkan bukti dapat menjadi kebijakan pemerintah," ujar dia.
Sebagai informasi, beberapa negara memilih lock down dalam menghadapi corona seperti Italia sejak 9 Maret 2020, Denmark sejak 13 Maret 2020, Filipina sejak 12 Maret 2020, hingga Irlandia pada 12-29 Maret 2020.
(Baca: Jokowi Bentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19)
Pemerintah Tiongkok sejak Januari lalu mengisolasi kota Wuhan dan beberapa kota di dekatnya yang menjadi lokasi episentrum Covid-19, sedangkan Korea Selatan menutup Daegu yang merupakan wilayah pertama kali penyebaran corona.