Sebut Rapid Test Tak Efektif, Eijkman Sarankan Pemerintah Gunakan PCR
Metode rapid test yang dijalankan pemerintah untuk pemeriksaan virus corona, dipandang Lembaga Biologi Molekuler Eijkman tidak efektif.
Menurut Eijkman, pemeriksaan virus corona melalui metode molekuler alias Polymerase Chain Reaction (PCR), lebih efektif daripada rapid test serologi. Alasannya, tes PCR memiliki keunggulan berupa tingkat akurasi yang lebih tinggi daripada metode pemeriksaaan lainnya.
Wakil Kepala Eijkman Profesor Herawati Sudoyo mengatakan, ada beberapa metode pemeriksaan virus corona untuk mendeteksi patogen. Tingkatan berdasarkan akurasinya secara berturut-turut yakni, tes PCR, tes kultur dan rapid test.
Herawati berpendapat, pemeriksaan metode molekuler seharusnya jadi pilihan utama, karena tingkat akurasinya dapat mendeteksi ada atau tidaknya virus di dalam sel pada tubuh kita.
"Karena dengan PCR, yang diperiksa itu adalah virusnya sendiri," ujar Herawati kepada Katadata.co.id, Jumat (27/3).
Metode selanjutnya yang diklaim Eijkman lebih efektif dibanding rapid test adalah, tes kultur darah atau pembiakan mikroorganisme. Metode ini menurut Herawati lebih efektif karena, mendeteksi adanya bakteri, jamur, parasit, atau virus di dalam darah.
Sedangkan, rapid test merupakan metode pemeriksaan pasien berdasarkan deteksi zat antibodi untuk mengetahui apakah pasien pernah 'berkontak' atau tidak dengan virus tersebut.
(Baca: Pemprov DKI Jakarta Prioritaskan Rapid Test untuk Tenaga Medis)
"(Rapid test) itu pun sifatnya cuma screening, sedangkan tes PCR kita bisa tahu, apakah kita positif terhadap virus itu atau tidak," ujar Herawati.
Namun, tes PCR membutuhkan proses waktu yang cukup ketat dan kemungkinan akan menjadi kurang efektif, apabila dilakukan dengan jumlah sampel yang cukup banyak. Apalagi, menurut Herawati, satu tes PCR biasanya membutuhkan waktu sekitar delapan jam.
Ia menjelaskan, di Eijkman, tes PCR perlu dilakukan di laboratorium dengan tingkat keselamatan biologi atau biosafety level 3, sehingga memiliki proteksi cukup tinggi untuk menghindari adanya penyebaran virus. Namun, menurutnya, laboratorium di luar Eijkman dapat melakukan tes PCR di biosafety level 2.
"Tetapi cara bekerjanya tetap harus mengikuti asas-asas bio safety sesui ketetapannya untuk mereka yang bekerja dengan patogen berbahaya, agar virusnya tidak menyebar ke luar," ujar Herawati.
Herawati mengatakan, saat ini instansi dan tim Gugus Tugas tengah menunggu hasil usulan mereka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), terkait otomatisasi penggunaan metode PCR. Melalui otomatisasi, Eijkman mengharapkan tak menghabiskan banyak biaya bagi pemerintah.
"Sehingga tes PCR ini bisa digunakan untuk screening (tes corona) ke banyak masyarakat," ujar Herawati.
(Baca: Rapid Test Dimulai, Pemerintah Temukan Kasus Baru Positif Corona)
Adapun pemerintah tengah mengkaji metode rapid test agar mampu memeriksa virus corona secara cepat. Melalui metode ini, pemeriksaan tak lagi menggunakan apusan tenggorokan seperti yang dilakukan pada swab test.
“Pemeriksaan rapid test menggunakan serum yang diambil dari darah,” kata kata juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto di Gedung BNPB, Jakarta, Rabu (18/3).
Yurianto mengatakan, salah satu keuntungan dari rapid test adalah, uji sampel tak perlu dilakukan di laboratorium dengan biosecurity level 2. Dengan demikian, uji sampel bisa dilakukan di seluruh laboratorium yang ada di rumah sakit seluruh Indonesia.
Meski demikian, pengujian rapid test hanya bisa berhasil pada orang yang terinfeksi virus corona selama sepekan atau lebih. Pasalnya, pemeriksaan rapid test dilakukan terhadap immunoglobulin seseorang.
“Kalau belum terinfeksi atau terinfeksi kurang dari sepekan, kemungkinan pembacaan imunoglobulinnya akan berikan gambaran negatif,” kata Yurianto.
(Baca: Jokowi Instruksikan Semua Tenaga Medis Corona Jalani Rapid Test)