DPR Beri Beberapa Catatan untuk OJK Terkait Keringanan Kredit Bank
Melalui rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan perkembangan terkini kebijakan keringanan kredit.
Kepada Komisi XI DPR, Ketua Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, kebijakan keringanan kredit sejauh ini tengah dijalankan, baik oleh perbankan maupun perusahaan pembiayaan.
Dari sisi perbankan, Wimboh menyebut, kebijakan keringanan kredit telah dilakukan oleh beberapa bank, termasuk bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) misalnya, per 31 Maret 2020 telah melakukan restrukturisasi 134.000 debitur usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dengan total nilai Rp 14,9 triliun.
“Bank lainnya mungkin sudah, tapi belum melaporkan. Dan ini kami memonitor rutin dan detail, supaya masyarakat paham,” ujar Wimboh saat raker virtual dengan Komisi XI DPR, Selasa (7/4).
Sementara dari perusahaan pembiayaan, Wimboh mengatakan, dari 183 perusahaan pembiayaan, 14 perusahaan telah melaporkan menerima pengajuan keringan kredit. Hingga 31 Maret 2020, total ada 11.235 permohonan kredit yang masuk, dengan 10.206 permohonan telah direstrukturisasi.
Ia menambahkan, secara prinsip seluruh bank akan mengikuti kebijakan keringanan kredit, sebab jika tidak dilakukan maka akan berimbas pada macetnya kredit dan akan dilakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP).
Meski mengapresiasi capaian sementara dari kebijakan keringanan kredit, Komisi XI memberikan beberapa catatan kepada OJK, untuk diperhatikan dan dicarikan solusinya.
(Baca: Imbas Corona, BRI Restrukturisasi Kredit 134 Ribu Debitur UMKM)
Pertama, DPR meminta OJK lebih gencar melakukan edukasi terkait kebijakan keringanan kredit yang diberikan dan menyiapkan langkah lanjutan yang terukur, dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
“Tentunya apresiasi diberikan atas stimulus berupa keringanan kredit yang diberikan OJK kepada UMKM dan para pekerja informal. Namun, kita semua perlu teliti apakah kebijakan ini tepat sasaran,” kata anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin.
Puteri mengungkapkan, berdasarkan aspirasi dari daerah pemilihannya, banyak masyarakat yang masih berpikir bahwa keringanan kredit ini berlaku untuk semua debitur, tanpa terkecuali.
Menurut Puteri, apabila masyarakat kurang tepat menafsirkan aturan ini, dampaknya akan mengganggu kinerja industri perbankan. Oleh sebab itu, ia mendorong OJK untuk meningkatkan edukasi terkait kebijakan keringanan kredit kepada masyarakat.
Selain itu, DPR juga mengkhawatirkan dampak negatif bagi bank dengan aset kecil dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), jika penerapan kebijakan keringanan kredit kemudian diikuti oleh penarikan dana oleh nasabah. Kemungkinan ini menurut Puteri, bakal makin menekan likuiditas bank tersebut.
“Sejauh ini, bagaimana dampak penerapan relaksasi ini terhadap kinerja keuangan bank-bank tersebut? Rasanya dampak dan mitigasi dampak juga penting untuk menjadi perhatian,” ujar Puteri.
Selain itu, Puteri juga juga menyoroti tentang belum adanya kebijakan keringanan kredit bagi industri fintech. Ia berharap, OJK juga akan mengatur relaksasi bagi industri fintech, utamanya nasabah dari fintech lending berizin yang juga terdampak pandemi corona.
Wimboh pun mengakui masih banyak informasi yang kurang tepat sasaran dalam implementasi kebijakan keringanan kredit. Oleh karena itu, ia menjamin ke depan tidak akan ada lagi informasi simpang-siur di masyarakat.
Ia menambahkan, OJK akan lebih gencar mensosialisasikan aturan detail mengenai kebijakan keringanan kredit. Selain itu, OJK juga akan terus mendorong manajemen bank maupun lembaga keuangan non bank untuk mensosialisikan kebijakan keringanan kredit ini kepada masyarakat.
(Baca: Efek Corona, Permohonan Keringanan Kredit Leasing Capai 9 Ribu Debitur)