Tangisan Bos BI & Kapal Nabi Nuh untuk Selamatkan Ekonomi RI
Pandemi virus corona menghantam perekonomian dan sistem keuangan Indonesia. Pemerintah dan regulator sistem keuangan pun harus memutar otak untuk menciptakan kebijakan agar krisis kesehatan ini tak menjalar ke krisis ekonomi dan berujung krisis sosial.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengaku sedih melihat keadaan ekonomi kacau akibat pandemi corona. Virus mirip influenza ini memukul perekonomian seluruh dunia, termasuk Indonesia.
"Saya setiap malam nangis dengan kawan-kawan memikirkan pandemi ini," ucap Perry dalam rapat kerja virtual bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Rabu (8/4).
Pembatasan sosial yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran vrus corona berpotensi memangkas pendapatan masyarakat. Apalagi, jika harus diterapkan dalam waktu yang lama. "Bagaimana nasib yang tidak bekerja. Mereka akan makan apa. Saya menangis memikirkan ini," ujarnya.
(Baca: Sri Mulyani Sebut Covid-19 Lebih Kompleks dari Krisis 1998 dan 2008)
Saat ini, berbagai kebijakan dirumuskan pemerintah agar kekhawatiran Perry tak benar-benar terealisasi. Pemerintah telah menyiapkan berbagai bantuan kepada masyarakat.
Di samping itu, pihaknya bersama dengan, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan juga telah menciptakan berbagai kebijakan agar perekonomian tak tumbang. Ia bahkan mengibaratkan kebijakan-kebijakan tersebut ibarat Kapal Nabi Nuh yang berupaya menyelamatkan seluruh warga Indonesia.
"Seperti yang kita pelajari Kapal Nuh, kalau air bah sampai setinggi rumah kita ukur, jika setinggi gunung kita siapkan juga," katanya.
Orang nomor satu di Bank Sentral ini mengungkapkan, pihaknya bersama pemerintah akan sebisa mungkin menjaga kapal tersebut agar tidak goyah. Perekonomian pun diharapkan dapat segera pulih setelah pandemi ini berlalu.
(Baca: RI Negara Pertama Asia yang Jual Obligasi Global Rp 69 T saat Pandemi)
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengatakan bahwa krisis yang diakibatkan virus corona saat ini jauh lebih kompleks dibanding krisis 1997-1998 dan 2008-2009. "Covid-19 jauh lebih kompleks dari 1997 dan 1998 yang mengalami situasi krisis. Ini karena penyebabnya belum bisa ditahan," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja virtual bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (6/4).
Menurut Sri Mulyani, sumber utama krisis global saat ini belum bisa diatasi karena masih dibutuhkan banyak pengujian. Bahkan, di Tiongkok kembali bermunculan kasus baru di saat Negeri Panda tersebut hampir berhasil mengendalikan penambahan kasus sepenuhnya.
Di sisi lain, penyebab krisis kali ini dinilai ia mengancam jiwa manusia. Sedangkan krisis 22 tahun lalu, pada tahun 1997-1998, penyebab krisis dapat ditahan dengan baik.