Skenario Berat Pandemi, Ekonomi Indonesia Kuartal II Hanya Tumbuh 1,1%
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, perekonomian Indonesia berpotensi hanya tumbuh 1,1% pada kuartal II 2020. Ini merupakan skenario berat pemerintah di tengah pandemi corona atau Covid-19.
"Dalam skenario berat, di kuartal II 2020 itu perekonomiannya adalah 1,1%," kata Perry dalam konferensi video di Jakarta, Kamis (9/4).
Menurutnya, dalam skenario berat yang disusun pemerintah di tengah pandemi, pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diperkirakan hanya menyentuh 2,3%. Rinciannya, kuartal I tumbuh sebesar 4,7%, kuartal II sebesar 1,1%, kuartal III sebesar 1,3% dan kuartal IV 2020 tumbuh 2,4%.
Ia menjelaskan, skenario pemerintah tersebut, disusun berdasarkan informasi satuan tugas (satgas) mengenai perkiraan penyebaran pandemi. "Satgas memperkirakan virus corona bisa sampai puncak Juni-Juli 2020. Hal ini yang mendasari terbentuknya skenario berat," ujarnya.
Perry menambahkan, BI akan terus membahas skenario berat tersebut bersama Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Skenario ini, ia katakan, menjadi acuan respons yang diperlukan ke depannya.
Berdasarkan skenario berat ini, stimulus fiskal menurutnya, membutuhkan pelebaran defisit hingga 5,07% terhadap produk domestik bruto (PDB). "Karena tambahan Rp 405 triliun yang antara lain untuk atasi biaya kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi," kata Perry.
(Baca: Sri Mulyani: Skenario Terburuk Dampak Corona, Ekonomi RI Minus 0,4%)
Selain skenario berat, sebelumnya pemerintah juga menyusun skenario terburuk di tengah pandemi corona. Dalam skenario terburuk, perekonomian diperkirakan akan negatif 0,4%.
Skenario terburuk pemerintah bisa terjadi jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat, menjadi 3,2% dalam skenario berat, hingga 1,6% dalam skenario sangat berat. Kemudian, pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya tumbuh 6,83% atau 3,73% yang berpotensi meningkatkan defisit hingga 5,07%.
Hal ini diikuti dengan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga turun 1,78% hingga 1,91%. Penyebab lainnya, yakni kinerja investasi yang kurang positif, hanya tumbuh 1% atau bahkan menurun 4%. Selanjutnya, ekspor menurun tajam 14% hingga 15,6%, serta impor turun 14,5% hingga 16,65%.
Selain pertumbuhan ekonomi, terdapat pula skenario berat dan terburuk mengenai asumsi makro lainnya. Saah satunya, nilai tukar rupiah yang diperkirakan mencapai Rp 17.500 per dolar AS pada skenario berat dan Rp 20.000 per dolar AS pada skenario terburuk.
Harga ICP juga turut dihitung pada skenario terbaru pemerintah akibat pandemi corona. Pada skenario berat, pemerintah memperkirakan harga ICP hanya mencapai US$ 38 per barel dan US$ 31 per barel pada skenario sangat berat.
Besaran ICP pada skenario berat dan sangat berat ini tergolong sangat rendah, jika dibandingkan dengan asumsi makro pada APBN 2020 yang sebesar US$ 63 per barel.
Kemudian, inflasi juga diperkirakan mencapai 3,9% pada skenario berat dan 5,1% pada skenario sangat berat. Cukup jauh jika dibandingkan asumsi makro tahun ini.
(Baca: BI & Pemerintah Antisipasi Kondisi Terburuk Kurs Rupiah 20.000 per US$)