Ekonomi di Tengah Pandemi, Apakah Akan Terjadi Lagi Depresi Besar?
Pandemi corona akan membuat pertumbuhan ekonomi global tumbuh negatif tahun ini. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan situasinya bakal lebih buruk dari Depresi Besar alias Great Depression pada 1930an.
Padahal, baru tiga bulan lalu IMF mengeluarkan perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita yang positif di lebih 160 negara anggotanya. Sekarang, proyeksinya berbalik arah bahkan berdampak ke 170 negara. “Faktanya, kami mengantisipasi kejatuhan ekonomi terburuk sejak Depresi Besar,” kata Ketua IMF Kristalina Georgeiva, seperti dikutip dari BBC, Kamis (9/4).
The Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi negara-negara maju dan berkembang yang tergabung dalam G20 akan mengalami resesi pada 2020. Negara-negara di Eropa termasuk menjadi wilayah yang paling terdampak Covid-19. Jerman (-5%), Prancis (-5%), dan Italia (-7%) akan mengalami resesi sepanjang tahun ini. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan angkanya.
Pemulihan parsial diperkirakan baru akan terjadi pada 2021. Pasalnya, keputusan isolasi penuh atau lockdown di sejumlah negara untuk menghentikan penyebaran virus corona telah memaksa banyak perusahaan untuk menutup usaha dan memberhentikan karyawannya.
Sebuah studi Organisasi Buruh International atau ILO menuliskan empat dari lima pekerja di dunia terdampak penyebaran virus corona. Sebanyak 81% dari 3,3 miliar orang mengalami penutupan tempat kerja secara penuh atau sebagian.
(Baca: Sri Mulyani Ungkap Ancaman Ekonomi Kuartal II Tumbuh Minus 2,6%)
Sektor-sektor yang terdampak termasuk akomodasi dan jasa makanan; perdagangan retail dan besar; manufaktur; dan properti. "Para pekerja dan bisnis menghadapi bencana, baik di negara maju maupun berkembang," kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder.
Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK sudah mulai terasa. Data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan imbas pandemi corona. Sebanyak 10,6% di antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4% lainnya karena dirumahkan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan telah meminta pelaku usaha agar PHK menjadi opsi terakhir. Para pengusaha diminta untuk lebih dulu mengurangi upah dan fasilitas bagi pekerja tingkat atas, mengurangi shift kerja, menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir.
Apa itu Depresi Besar?
Depresi, mengutip dari situs Otoritas Jasa Keuangan, merupakan keadaan ekonomi yang ditandai oleh menurunnya harga, menurunnya daya beli, dan jumlah penawaran yang jauh melebihi permintaan. Kondisi itu juga menyebabkan angka pengangguran meningkat secara tajam dan dunia usaha mengalami kelesuan yang mengarah kepada likuidasi perusahaan (depression).
Depresi Besar atau Great Depression adalah periode kelesuan ekonomi dan pengangguran secara besar-besaran pada 1929 hingga masa sebelum Perang Dunia II.
(Baca: Bahaya Pandemi Corona di Balik “Tembok” Korea Utara)
Apa Pemicu Depresi Besar 1930-an?
Depresi Besar 1930-an berawal dari kejatuhan pasar saham Amerika Serikat pada Oktober 1929. Pelaku pasar modal langsung panik dan menyapu bersih jutaan dana investor. Selama beberapa tahun berikutnya, kondisi tak kunjung membaik.
Penyebab kejatuhan itu, mengutip dari situs History, karena spekulasi sembrono dari mulai taipan hingga petugas kebersihan dalam menginvestasikan uangnya di pasar saham. Masyarakat dari semua lapisan ketika itu menikmati masa emas ekonomi AS yang berlangsung sejak awal 1920-an.
Era kejayaan itu disebut The Roaring Twenties. Industri manufaktur dan pertanian meningkat pesat, ekonomi dan konsumsi pun turut terdorong.
(Baca: Jaga Rupiah di Tengah Gejolak Corona, BI Tahan Bunga Acuan 4,5%)
Pasar saham ketika itu mengalami ekspansi cepat dan mencapai puncaknya pada Agustus 1929. Namun, pada saat bersamaan, produksi di pabrik telah turun dan pengangguran meningkat. Hal ini membuat harga saham jauh lebih tinggi dari nilai sebenarnya. Akhirnya, pada 24 Oktober 1929, Wall Street tak sanggup lagi menahan spekulasi, lalu jatuh dan memusnahkan kekayaan banyak perusahaan.
Ekonom dan pelaku sejarah menyebut Depresi Besar sebagai kejatuhan ekonomi terbesar dan terpanjang dalam sejarah era industri. Ada pula yang menganggapnya bencana ekonomi terdahsyat pada abad ke-20.
Apa Akibat Depresi Besar 1930-an?
Situs Investopedia menuliskan, kejatuhan pasar saham yang disebut Black Thursday itu menjadi penanda AS masuk ke dalam krisis. Tingkat pengangguran yang awalnya 3,2% langsung terjun bebas menjadi 24,9% pada 1933. Di tahun ini sebanyak 15 juta rakyat AS pengangguran dan hampir setengah jumlah bank di sana mengalami pailit.
Intervensi dari dua pemerintahan Presiden AS kala itu, yaitu Herbert Hoover dan Franklin Delano Roosevelt, tak mampu mengatasi masalah pengangguran. Pada 1938 angkanya masih di 18,9%. Bahkan ketika Jepang mengebom Pearl Harbor pada akhir 1941, angka produk domestik bruto AS masih di bawah level pada 1929.
Yang membuat keadaan sangat buruk adalah ketika itu belum ada jaminan sosial untuk tenaga kerja. Banyaknya PHK membuat sebagian besar penduduk jatuh miskin dan kelaparan terjadi di mana-mana. Beberapa foto yang diterbitkan oleh media pada saat itu menunjukkan bagaimana warga AS harus mengantri panjang untuk mendapatkan jatah makan dari pemerintah.
(Baca: Dampak Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19 terhadap Anggaran)
Pada hari pelantikan Roosevelt, yaitu 4 Maret 1933, Departemen Keuangan AS tidak memiliki cukup uang tunai untuk membayar pekerja pemerintah. Ia merupakan Presiden AS yang paling lama memegang jabatan itu. Di tengah krisis, ia selalu menebar optimisme. Satu kalimatnya yang terkenal sampai sekarang adalah “satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri.”
Pemerintahannya kemudian melahirkan jaminan sosial untuk tenaga kerja. Ia juga mereformasi sistem keuangan dengan menciptakan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk melindungi rekening para penabung. Lalu, Badan Otoritas Sekuritas dan Bursa (SEC) juga terbentuk untuk mengatur pasar saham dan mencegah spekulasi.
Masuk ke Perang Dunia II, kondisi berangsur pulih. Perang telah membuat mesin-mesin di pabrik bekerja kembali. Tingkat pengangguran kembali di bawah sebelum Depresi terjadi. Masa suram itu pun berakhir dan AS mengalihkan fokusnya ke konflik global.
Apakah Depresi Besar Bakal Terjadi Lagi?
Pemenang Nobel bidang ekonomi Robert Shiller dalam wawancaranya dengan CNBC mengatakan apa yang terjadi sekarang tak sama dengan Depresi Besar 1930-an. “Ini adalah pandemi, tidak akan bertahan hingga sepuluh tahun. Ini akan berakhir dalam satu atau dua tahun,” katanya.
Yang membuat ekonomi terlihat suram adalah ketakutan itu sendiri. Shiller, yang mempelajari bagaimana emosi manusia mengendalikan keputusan keuangan, menemukan banyaknya obrolan seputar risiko depresi akibat virus corona sangat merugikan perekonomian.
Tapi ia tidak meragukan kondisi sekarang mungkin lebih buruk dari Depresi. Krisis di pasar modal masih jauh dari selesai. “Kekurangan pasokan membuat kita semua gelisah,” ucapnya.
(Baca: Pandemi Corona, IMF Beri Keringanan Cicilan Utang ke 25 Negara Miskin)
Sebuah artikel di Washington Post pada 12 April lalu menyebut prospek ekonomi di tengah pandemi corona sudah pasti suram. Lebih dari 17 juta pekerja di AS telah melamar tunjangan pengangguran dalam empat minggu terakhir.
Prediksi angka pengangguran di AS tahun ini akan mencapai 30%, lebih tinggi dari Depresi Besar. Tapi rekor jumlah pengangguran tidak serta-merta akan membuat depresi. Intervensi agresif pemerintah dapat mencegah hal tersebut terjadi.
Depresi Besar 1930-an, menurut artikel itu, terjadi karena kesalahan kebijakan Presiden Hoover. Ia melakukan proteksionisme terhadap pasar tenaga kerja. Ketika masa sulit, ia melarang penurunan upah tenaga kerja. Harapannya, upah tinggi akan merangsang konsumsi dalam negeri.
Upaya melindungi pasar tenaga kerja itu dibalas dengan kebijakan tarif dari mitra dagangnya. Ekspor dan impor pun terganggu, perdagangan internasional hancur. Tapi kebijakan Presidek Roosevelet juga tak sepenuhnya sempurna. Tingkat pengangguran tak mampu ia turunkan di bawah 10%.
Belajar dari pengalaman ini semua, Depresi Besar dapat terhindari di tengah pandemi corona kalau pemerintah dapat memberikan dukungan yang tepat bagi dunia ekonomi. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bermain-main dengan kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah di banyak negara saat ini diuji untuk menemukan obat yang tepat untuk menyembuhkan perekonomiannya.
(Baca: Jokowi Waspadai Dampak Corona terhadap Ekonomi Berlanjut Tahun Depan)