Ekonomi di Tengah Pandemi, Apakah Akan Terjadi Lagi Depresi Besar?

Sorta Tobing
14 April 2020, 17:37
apa itu depresi besar, depresi hebat 1930-an, great depression, apa akibat depresi besar, dampak depresi besar, virus corona, virus korona, pandemi corona, covid-19
ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.
Seorang warga duduk di antara pertokoan yang tutup di Pasar Baru, Jakarta, Jumat (3/4/2020). IMF memperingatkan banyaknya aktivitas usaha yang terganggu karena pandemi corona bakal membuat perekonomian dunia jatuh lebih buruk dari Depresi Besar 1930-an.

Pandemi corona akan membuat pertumbuhan ekonomi global tumbuh negatif tahun ini. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan situasinya bakal lebih buruk dari Depresi Besar alias Great Depression pada 1930an.

Padahal, baru tiga bulan lalu IMF mengeluarkan perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita yang positif di lebih 160 negara anggotanya. Sekarang, proyeksinya berbalik arah bahkan berdampak ke 170 negara. “Faktanya, kami mengantisipasi kejatuhan ekonomi terburuk sejak Depresi Besar,” kata Ketua IMF Kristalina Georgeiva, seperti dikutip dari BBC, Kamis (9/4).

The Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi negara-negara maju dan berkembang yang tergabung dalam G20 akan mengalami resesi pada 2020. Negara-negara di Eropa termasuk menjadi wilayah yang paling terdampak Covid-19. Jerman (-5%), Prancis (-5%), dan Italia (-7%) akan mengalami resesi sepanjang tahun ini. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan angkanya.

Pemulihan parsial diperkirakan baru akan terjadi pada 2021. Pasalnya, keputusan isolasi penuh atau lockdown di sejumlah negara untuk menghentikan penyebaran virus corona telah memaksa banyak perusahaan untuk menutup usaha dan memberhentikan karyawannya.

Sebuah studi Organisasi Buruh International atau ILO menuliskan empat dari lima pekerja di dunia terdampak penyebaran virus corona. Sebanyak 81% dari 3,3 miliar orang mengalami penutupan tempat kerja secara penuh atau sebagian.

(Baca: Sri Mulyani Ungkap Ancaman Ekonomi Kuartal II Tumbuh Minus 2,6%)

Sektor-sektor yang terdampak termasuk akomodasi dan jasa makanan; perdagangan retail dan besar; manufaktur; dan properti. "Para pekerja dan bisnis menghadapi bencana, baik di negara maju maupun berkembang," kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder.

Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK sudah mulai terasa. Data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan imbas pandemi corona. Sebanyak 10,6% di antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4% lainnya karena dirumahkan.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan telah meminta pelaku usaha agar PHK menjadi opsi terakhir. Para pengusaha diminta untuk lebih dulu mengurangi upah dan fasilitas bagi pekerja tingkat atas, mengurangi shift kerja, menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir.

Apa itu Depresi Besar?

Depresi, mengutip dari situs Otoritas Jasa Keuangan, merupakan keadaan ekonomi yang ditandai oleh menurunnya harga, menurunnya daya beli, dan jumlah penawaran yang jauh melebihi permintaan. Kondisi itu juga menyebabkan angka pengangguran meningkat secara tajam dan dunia usaha mengalami kelesuan yang mengarah kepada likuidasi perusahaan (depression).

Depresi Besar atau Great Depression adalah periode kelesuan ekonomi dan pengangguran secara besar-besaran pada 1929 hingga masa sebelum Perang Dunia II.

(Baca: Bahaya Pandemi Corona di Balik “Tembok” Korea Utara)

PENTUPAN HOTEL DI JAWA BARAT DAMPAK COVID-19
Penutupan sebuah hotel di Jawa Barat, dampak pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.)

Apa Pemicu Depresi Besar 1930-an?

Depresi Besar 1930-an berawal dari kejatuhan pasar saham Amerika Serikat pada Oktober 1929. Pelaku pasar modal langsung panik dan menyapu bersih jutaan dana investor. Selama beberapa tahun berikutnya, kondisi tak kunjung membaik.

Penyebab kejatuhan itu, mengutip dari situs History, karena spekulasi sembrono dari mulai taipan hingga petugas kebersihan dalam menginvestasikan uangnya di pasar saham. Masyarakat dari semua lapisan ketika itu menikmati masa emas ekonomi AS yang berlangsung sejak awal 1920-an.

Era kejayaan itu disebut The Roaring Twenties. Industri manufaktur dan pertanian meningkat pesat, ekonomi dan konsumsi pun turut terdorong.

(Baca: Jaga Rupiah di Tengah Gejolak Corona, BI Tahan Bunga Acuan 4,5%)

Pasar saham ketika itu mengalami ekspansi cepat dan mencapai puncaknya pada Agustus 1929. Namun, pada saat bersamaan, produksi di pabrik telah turun dan pengangguran meningkat. Hal ini membuat harga saham jauh lebih tinggi dari nilai sebenarnya. Akhirnya, pada 24 Oktober 1929, Wall Street tak sanggup lagi menahan spekulasi, lalu jatuh dan memusnahkan kekayaan banyak perusahaan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...