Untung-Rugi Diskon Tarif Listrik untuk Pelanggan Nonsubsidi

Sorta Tobing
17 April 2020, 16:31
Tarif Listrik PLN, keringanan tarif listrik 900 VA non subsidi, listrik 1.300 VA turun harga, diskon listrik non subsidi PLN, pandemi corona, virus corona, covid-19
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.
Warga memasukkan pulsa token listrik di tempat tinggalnya, di Jakarta, Selasa (1/4/2020). Pemerintah mengkaji pemberian diskon tarif listrik untuk golongan nonsubisidi 900 VA dan 1.300 VA.

Pemerintah mengambil sejumlah langkah untuk mengantisipasi dampak pandemi corona ke perekonomian nasional. Salah satunya, Presiden Joko Widodo menginstruksikan adanya diskon tarif listrik bagi kelompok masyarakat miskin.

Instruksi itu kemudian ditindaklanjuti PT PLN (Persero) dengan menggratiskan tarif listrik bagi 24 juta pelanggan golongan subsidi 450 volt ampere (VA). Lalu, perusahaan setrum negara juga memberikan potongan 50% kepada tujuh juta pelanggan golongan subsidi 900 VA. Kebijakan ini telah berjalan sejak awal April lalu dan akan berakhir pada Juni 2020.

Kini desakan untuk memberikan diskon untuk golongan nonsubsidi 900 VA dan 1.300 VA muncul. Mengutip dari CNBC Indonesia, anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade menyarankan lebih baik pelanggan golongan ini juga mendapatkan diskon tarif listrik. Hanya saja, nilainya tak perlu sebesar golongan 900 VA, cukup 25% saja.

“Sekarang semua orang merasakan dampak, tidak lagi (hanya) orang miskin. Orang yang punya uang pun merasakan dampak," kata politikus dari Partai Gerindra itu pada saat rapat dengar pendapat, Kamis (16/4).

(Baca: Pemerintah Godok Insentif Listrik untuk Semua Usaha Terdampak Corona)

Dorongan serupa juga datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulis Abadi menilai infeksi virus corona lebih banyak berdampak pada ekonomi kelompok konsumen perkotaan, sehingga pelanggan nonsubsidi juga memerlukan kompensasi biaya listrik.

Sebagian besar pelanggan 450 VA tinggal di pedesaan. Jadi, pemerintah tidak perlu menggratiskan tarif listrik golongan itu sepenuhnya, cukup dengan diskon seperti pelanggan 900 VA. Sebagian insentif kemudian bisa dialihkan kepada pelanggan 1.300 VA.

Apalagi banyak masyarakat perkotaan yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) atau dipotong gaji karena perusahaannya bangkrut. “Jadi penggratisan listrik yang berlaku secara nasional kurang tepat sasaran,” ucap Tulus, mengutip Kompas.com.

(Baca: Pemerintah Diminta Perluas Diskon Listrik untuk Warga Rentan Miskin)

Opsi Diskon Tarif Listrik Golongan Nonsubsidi Masih Dikaji

Menanggapi desakan tersebut, PLN mengatakan akan mengumpulkan dan mempelajari data kemampuan pelanggan golongan nonsubsidi dalam membayar tagihan listrik selama pandemi Covid-19. Data ini akan disampaikan pada 20 April mendatang.

"Jadi nanti pada 20 April 2020 kita akan tahu, dari 900 VA dan 1.300 VA berapa orang yang betul-betul terdampak dan sudah mulai kesulitan membayarnya," jelas Direktur Utama PT PLN Zulkifli Zaini, usai mengikuti rapat dengan Komisi VI DPR.

Namun menurutnya, perluasan peringanan tarif listrik juga dikhawatirkan membuat keuangan perusahaannya akan terhimpit. “Kalau insentif dari skala besar sudah pasti PLN tak mampu melaksanakan karena bagaimanapun keuangan kami tidak memungkinkan,” ujarnya, seperti dilansir dari Liputan6.com.

Keuangan PLN akan sangat berat jika harus memberikan insentif kepada pelanggan 1.300 VA. Pemerintah tidak pernah menanggung subsidi bagi kelompok konsumen tersebut. Hal ini pun termaktub dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 29 Tahun 2016 tentang Mekanisme Pemberian Subsidi Tarif Tenaga Listrik untuk Rumah Tangga.

(Baca: 1,5 Juta Pekerja Menganggur Akibat Corona, Bansos Dinilai Belum Cukup)

Menurut pasal 2 ayat 1 dari Permen tersebut, subsidi listrik hanya diberikan bagi seluruh rumah tangga daya 450 VA dan rumah tangga 900 VA yang miskin dan tidak mampu. Sedangkan pasal 2 ayat 3 mengatakan, rumah tangga dengan daya 1.300 VA bisa memperoleh subsidi hanya jika menurunkan dayanya menjadi 450 atau 950 VA.

Kementerian ESDM sebelumnya telah mengusulkan alokasi subsidi listrik RAPBN tahun 2020 sebesar Rp 62,21 triliun. Nilai ini lebih tinggi 4,87% dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni Rp59,32 triliun.

Alokasi subsidi listrik terendah pernah diatur dalam APBN 2017, yakni sebesar Rp45,74 triliun. Sedangkan alokasi tertinggi adalah pada APBN tahun 2012 yang mencapai Rp103,33 triliun. Data selengkapnya bisa diamati dalam Databoks berikut ini.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi mengatakan opsi untuk memberikan diskon tarif listrik golongan 1.300 VA masih terbuka. Jumlahnya mencapai 11 juta rumah tangga. Sementara, golongan nonsubsidi 900 VA ada 22,7 pelanggan.

 “Kami tetap menyiapkan alternatif skenario. Selama tiga bulan kebijakan ini berlangsung, kami terus lakukan review,” tutur Hendra, Selasa (14/4), dilansir dari Kontan.

Keputusan itu akan tergantung pada hasil evaluasi terhadap kebijakan peringanan tarif listrik yang tengah berlaku saat ini. Evaluasi dilakukan selama tiga bulan ke depan, dengan mempertimbangkan perkembangan kasus corona di dalam negeri.

(Baca: Kas Hanya Cukup 3 Bulan, Pengusaha Desak Realisasi Stimulus Pemerintah)

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai peringanan tarif listrik gratis bagi pelanggan golongan 1.300 VA belum menjadi kebutuhan yang mendesak.

Ia yakin, sebagian besar kelompok konsumen tersebut bukan termasuk rumah tangga miskin dan tidak mampu, lantaran memiliki penghasilan tetap dan kemungkinan juga tabungan. Karena itu, dampak pandemi virus corona terhadap pekerja perkotaan tidak seburuk yang dialami oleh para pekerja informal.

“Lebih baik buat 11 juta pelanggan 1.300 VA anggarannya dipakai agar mereka tidak kehilangan pekerjaan tetap mereka. Agar perusahaan tidak tutup dan pengangguran tinggi,” ucapnya kepada Tirto.

(Baca: PLN Tak Naikkan Tarif Listrik Pelanggan Nonsubsidi hingga Juni 2020)

Fabby juga menilai, kecil kemungkinan pelanggan golongan 1.300 VA terbebani oleh tarif listrik selama pandemi. Hal ini karena kewajiban untuk bekerja di rumah atau work from home telah memangkas sejumlah pengeluaran mereka, misalnya transportasi.

“Misalnya selama 3 minggu tidak bekerja, berarti pengeluaran transportasi berkurang drastis. Artinya kalau tagihan listrik naik 10-20% itu tidak terlalu terasa karena ada beban pengeluaran lain yang berkurang,” katanya kepada DetikFinance.

 Penulis: Nobertus Mario Baskoro (Magang)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...