Kejatuhan Harga Minyak Berisiko Hantam Ekonomi Negara Raja-raja Minyak
Negara-negara eksportir minyak tengah menghadapi pukulan berat dari kejatuhan harga minyak dunia di tengah pandemi corona. Harga minyak acuan Amerika WTI dan harga minyak acuan internasional Brent jatuh ke dasar. Bahkan, WTI sempat jebol ke level minus yang artinya pemasok bersedia membayar untuk bisa melepas stok minyak yang berlimpah.
Harga minyak dunia berada dalam grafik turun sejak awal tahun, namun penurunan-penurunan tajam terjadi mulai akhir Februari. Sebagai perbandingan, harga minyak WTI pada akhir tahun lalu US$ 60,06 per barel dan harga minyak Brent US$ 61,72 per barel. Sedangkan pada Rabu, 22 April, harganya belasan dolar per barel, seperti pada era 1980-1990an.
(Baca: Trump Bakal Borong Minyak untuk Cadangan Penyangga, Apa Fungsinya?)
Harga minyak berada jauh di bawah fiscal breakeven oil price negara-negara yang banyak bergantung pada pendapatan dari ekspor minyak. Fiscal breakeven oil price adalah harga minyak yang dibutuhkan suatu negara agar anggarannya seimbang. Bila harga di bawah itu maka anggaran defisit, kecuali ada kebijakan dari pemerintah seperti penghematan anggaran.
Berdasarkan proyeksi Dana Moneter Internasional atau IMF – sebelum pandemi corona dan kejatuhan harga minyak saat ini -- fiscal breakeven oil price negara eksportir minyak terbesar dunia yaitu Arab Saudi sebesar US$ 76,1 per barel tahun ini. Artinya, Saudi membutuhkan harga minyak dunia enam sampai tujuh kali lipat di atas kisaran saat ini agar anggaran seimbang alias tidak defisit.
Harga minyak juga jauh di bawah fiscal breakeven oil price negara eksportir minyak lainnya di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika. Fiscal breakeven oil price Iran US$ 389,4 per barel, Algeria US$ 157,2 per barel, Bahrain US$ 95,6 per barel, Oman US$ 86,8 per barel, Uni Emirat Arab US$ 69,1 per barel, Kuwait US$ 61,1 per barel, Irak US$ 60,4 per barel, Libia US$ 57,9 per barel, dan Qatar US$ 39,9 per barel.
(Baca: Ambruknya Harga Minyak yang Menambah Beban Ekonomi RI)
Harga minyak dunia diperkirakan akan tertahan di level yang rendah setidaknya dalam dua tahun ini. Pada April ini, IMF telah menurunkan perkiraan rata-rata harga minyak Brent tahun ini dari US$ 58,03 per barel menjadi US$ 35,61 per barel. Sedangkan tahun depan, proyeksi turun dari US$ 55,31 per barel menjadi US$ 37,87 per barel.
Bagi negara eksportir minyak yang juga menghadapi darurat pandemi corona, kejatuhan harga minyak saat ini berisiko semakin memperberat anggaran negara. Di antara negara-negara eksportir minyak Timur Tengah, misalnya, laporan kasus corona terbesar dicatatkan Iran yaitu 80 ribuan kasus, Saudi Arabia 11 ribuan kasus, dan Qatar enam ribuan kasus.
Bagi Iran, darurat pandemi corona dan kejatuhan harga minyak memperberat kondisi di tengah sanksi ekonomi ketat yang diberlakukan Amerika Serikat. Ekspor minyak negara pimpinan Presiden Hasan Rouhani tersebut jatuh dari 1,8 juta barel per hari pada 2018 ke bawah 500 ribu barel per hari mulai tahun lalu. IMF mencatat ekonomi Iran minus 7,6% tahun lalu dan diproyeksi terkontraksi 6% tahun ini.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi dan defisit/surplus anggaran negara-negara eksportir minyak di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika:
Negara | PE 2019 | Proyeksi PE 2020 | Proyeksi PE 2021 | Proyeksi Defisit/Surplus Anggaran 2020 |
Saudi Arabia | 0,3 | -2,3 | 2,9 | -12,6% |
Iran | -7,6 | -6 | 3,1 | -8,7 |
Uni Emirat Arab | 1,3 | -3,5 | -1,9 | -11,1% |
Irak | 3,9 | -4,7 | 7,2 | - |
Qatar | 0,1 | -4,3 | 5 | 5,2 |
Kuwait | 0,7 | -1,1 | 3,4 | -11,3 |
Oman | 0,5 | -2,8 | 3 | -14,9 |
Algeria | 0,7 | -5,2 | 6,2 | -15 |
Nigeria | 2,2 | -3,4 | 2,4 | -6,4% |
Angola | -1,5 | -1,4 | 2,6 | -6% |
Gabon | 3,4 | -1,2 | 3,6 | - |
Kongo | -0,9 | -2,3 | 3,4 | 5,7 |
Sumber: IMF, April 2020 (Diolah)
Proyeksi pertumbuhan ekonomi dan surplus/defisit anggaran 10 negara eksportir minyak terbesar dunia:
Negara | Ekspor (barel per hari)* | PE 2O19 | Proyeksi PE 2020 | Proyeksi PE 2021 | Proyeksi Defisit/Surplus Anggaran 2020 |
Saudi Arabia | 7,34 juta | 0,3% | -2,3% | 2,9% | -12,6% |
Rusia | 4,92 juta | 1,4% | -5,4% | 3,6% | -4,8% |
Irak | 3,09 juta | 3,9% | -4,7% | 7,2% | - |
Kanada | 2,82 juta | 0,2% | -7,5% | 3,1% | -11,8% |
Uni Emirat Arab | 2,55 juta | 1,3% | -3,5% | -1,9% | -11,1% |
Nigeria | 2,09 juta | 2,2% | -3,4% | 2,4% | -6,4% |
Angola | 1,78 juta | -1,5% | -1,4% | 2,6% | -6% |
Venezuela* | 1,65 juta | 10% | - | - | - |
Kazakhstan | 1,41 juta | 4,5% | -2,5% | 4,1% | -5,3% |
Norwegia | 1,38 juta | 7,9% | 0,8% | 3,7% | 0,8% |
Sumber: Index Mundi (*data akurat per 1 Januari 2019) dan IMF
IMF Ingatkan Soal Diversifikasi Ekonomi
IMF menyatakan kombinasi dari kenaikan pasokan minyak dan lemahnya permintaan global bisa menyebabkan harga minyak yang rendah untuk periode yang lama dan memperburuk pendanaan negara. Risiko ini mengingatkan akan pentingnya diversifikasi ekonomi.
“Untuk banyak negara eksportir minyak, kejatuhan tajam harga minyak dunia mengingatkan kembali akan perlunya diversifikasi ekonomi dan investasi pada teknologi rendah karbon (non-fosil/energi terbarukan).” Demikian tertulis dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2020.
Di Arab Saudi, diversifikasi menjadi fokus terutama setelah kejatuhan harga minyak pada 2014. Kejatuhan harga minyak ketika itu membuat negara eksportir minyak terbesar dunia tersebut mengalami defisit anggaran pertama kalinya sejak krisis ekonomi global 2009.
(Baca: Sejarah Kejatuhan Harga Minyak Dunia Sebelum Dihantam Pandemi Corona)
Defisit terus berlanjut dan diprediksi membengkak dari 4,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun lalu, menjadi 12,6% tahun ini. Dikutip dari Forbes, sektor perminyakan berkontribusi sekitar 87% terhadap pendapatan negara, 42% terhadap PDB, dan 90% terhadap pendapatan ekspor Saudi.
Negara ini sebelumnya melakukan diversifikasi ekonomi ke sektor pembangkit listrik, telekomunikasi, eksplorasi gas, dan petrokimia. Sedangkan belakangan, negara memperbesar peluang investasi swasta di sektor layanan kesehatan, pendidikan, dan pariwisata.
Desember tahun lalu, Saudi menjual kepada publik 1,5% saham perusahaan minyaknya Saudi Aramco dan mengantongi dana segar US$ 25,6 miliar atau lebih dari Rp 350 triliun untuk mendanai berbagai megaproyek dan mengembangkan industri baru.
IMF mencatat, pendapatan non-minyak negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) – Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Oman – menguat setelah kejatuhan harga minyak pada 2014. Ini dengan melihat perkembangannya di era 2010-2014 dan 2015-2018.
Namun, persentase PDB non-minyak terhadap total PDB tak banyak berubah yakni hampir 60%. Artinya kontribusi PDB minyak di kisaran 40%. Ini menunjukkan masih besarnya ketergantungan ekonomi terhadap emas hitam.