Kadin Minta Sengketa THR Dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial
Kamar Dagang dan Industri Indonesia meminta perusahaan yang masih belum menemukan kesepakatan pembayaran tunjangan hari raya dengan buruh untuk menyelesaikan masalah tersebut pada pengadilan hubungan industrial. Pandemi virus corona yang terjadi di luar perkiraan membuat banyak perusahaan terancam gulung tikar dan tidak bisa membayarkan kewajibannya, termasuk terkait THR.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan kondisi keuangan masing-masing perusahaan dalam menghadapi dampak pandemi corona berbeda antara satu sama lain. Hal ini perlu dievaluasi bersama antara pengusaha dengan buruh untuk menentukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak.
"Memang masalahnya kalau tidak bisa sepakat terus bagaimana, jadi tetap harus melalui jalur pengadilan hubungan industrial untuk menyelesaikan masalah ini," kata Shinta kepada katadata.co.id, Jumat (8/4).
Adapun Shinta menilai keputusan pemerintah menerbitkan Surat Edaran Menaker Tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 sangat tepat dalam menjembatani kepentingan pengusaha dan buruh.
(Baca: Menaker Pastikan Perusahaan Harus Bayar THR, Ada Opsi Penundaan)
Surat edaran tersebut antara lain memuat terkait kemungkinan perusahaan dapat menunda atau membayar THR dengan cara dicicil hingga ahir 2020. Namun, hal ini mempertimbangkan kemampuan dan kondisi perusahaan di masing-masing sektor.
"Keadaan Covid-19 ini di luar prediksi jadi kami tidak tahu bakal seperti ini. Semuanya tergantung perusahaan yang bersangkutan, kita lihat banyak sektor yang keuangannya sudah tidak ada lagi karena banyak yang sudah tutup. Jadi memang karena situasinya demikian mereka tidak ada kemampuan, bahkan mau dicicil juga susah," kata dia.
Sementara itu, Kepala Departemen Hubungan Antar Lembaga Sentral Gerakan Buruh Nasional Akbar Rewako menilai upaya menyelesaikan sengketa THR melalui PHI merupakan jebakan yang diterapkan pengusaha kepada buruh. Hal ini lantaran proses persidangan melalui PHI memakan waktu yang sangat lama. Padahal, saat ini kondisi buruh sudah terjepit dan sebagian besar telah dirumahkan sehingga tak memiliki penghasilan.
"Kami secara organisai menolak untuk dicicil karena dalam kondisi sekarang banyak kawan-kawan kami yang dirumahkan dan tidak mendapatkan upah sama sekali," kata dia.
Akbar menjelaskan, sebagai perusahaan yang telah diuntungkan dengan kerja keras buruh seharusnya THR telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Sehingga ketika terjadinya krisis ekonomi menjelang hari raya tak memutus hak-hak para buruh.
(Baca: Sri Mulyani Selektif Bayarkan THR Hanya untuk 13 Kriteria PNS)
Saat ini, menurut dia, jumlah buruh yang masih bekerja secara penuh telah menurun drastis. Mayoritas kini hanya bekerja seminggu dalam sebulan dan hanya diberi upah 50%, bahkan 30% dari gaji normal. Upaya-upaya negosiasi dengan perusahaan tengah dilakukan, tetapi masih belum menemukan titik temu.
"Soal THR rata-rata belum ketemu kesepakatan karena surat edarannya kan baru keluar kemarin, nah ini kawan-kawan sedang coba mengirim surat kepada perusahaan untuk mengadakan be partied," ujar Akbar.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerja Ida Fauziyah mengeluarkan edaran yang ditujukan untuk seluruh Gubernur di Indonesia. Tujuannya agar tercipta kesepahaman antara pengusaha dan para pekerja atau buruh terkait THR.
Dalam SE tersebut, Menaker meminta para gubernur memastikan perusahaan agar membayar THR keagamaan kepada pekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jika perusahaan tidak mampu membayar THR pada waktu yang ditentukan, solusi atas persoalan tersebut hendaknya diperoleh melalui dialog antara perusahaan dan pekerja.
"Proses dialog hendaknya dilakukan secara kekeluargaan, dilandasi dengan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan, dan itikad baik untuk mencapai kesepakatan," ujar Ida, dalam SE yang diterbitkan Kamis (7/5).