Perkara Dana Bagi Hasil DKI Jakarta, Beda Pendapat Sri Mulyani dan BPK

Sorta Tobing
12 Mei 2020, 19:59
polemik sri mulyani dengan bpk, dana bagi hasil dki jakarta, anies baswedan, masalah utang dbh pusat ke dki jakarta
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Ilustrasi. Persoalan dana bagi hasil DKI Jakarta menimbulkan polemik antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna.

Persoalan dana bagi hasil berlanjut. Kali ini bukan lagi polemik antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, tapi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna.

Sri Mulyani mengatakan, sisa kurang bayar DBH dari pusat ke provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 2,6 triliun akan ditetapkan setelah BPK melakukan audit. “Sisanya akan segera (dibayar) begitu kami sudah menyelesaikan laporan keuangan pemerintah pusat,” kata Sri Mulyani pada Jumat (8/5), seperti dikutip dari Antara.

Advertisement

Namun, Agung berpendapat tidak ada hubungan antara pemeriksaan auditor negara dengan kewajiban pembayaran sisa dana tersebut oleh Kementerian Keuangan. “Penting ditegaskan di sini bahwa tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH,” ucapnya kemarin.

Selain itu, tak ada satu pun peraturan yang mewajibkan prosedur pembayaran sisa DBH harus menunggu hasil pemeriksaan BPK. “Yang kami lakukan adalah pemeriksaan. Yang dilakukan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan, adalah pengelolaan keuangan negara,” ujar Agung.

(Baca: Polemik Piutang DBH Jakarta, BPK Surati Sri Mulyani soal Hasil Audit)

BPK sudah menyurati Kementerian Keuangan soal ini sebagai tanggapan Surat Menteri Keuangan S-305/MK.07/2020. Dalam poin kelima surat BPK Nomor 59/S/1/4/2020 menyebut penggunaan penyelesaian audit atas Laporan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk melakukan pembayaran, tidak relevan dalam konstruksi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) secara keseluruhan.

Agung menuliskan BPK tidak pernah secara spesifik memeriksa penerimaan negara. Pasalnya, item penerimaan yang dibagihasilkan per daerah penghasil tidak masuk asersi (deklarasi) pada LKPP.

BPK dalam sepuluh tahun terakhir tidak pernah melakukan koreksi atas pendapatan dalam APBN. Pasalnya, pendapatan itu menggunakan basis kas sehingga uang masuk selalu mudah diukur dengan tepat.

(Baca: Ditagih Anies, Sri Mulyani Cairkan Piutang DBH Jakarta Rp 2,6 Triliun)

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan penyaluran kurang bayar dana bagi hasil dari laporan keuangan pemerintah pusat teraudit bertujuan agar angkanya lebih pasti. “Sebenarnya Kemenkeu tidak merasa perlu berpolemik dengan BPK karena soal DBH ini tidak ada kaitannya secara kelembagaan dengan institusi BPK,” ucapnya, dikutip dari Tempo.co.

Surat dari Ketua BPK akan menjadi pertimbangan Kementerian Keuangan. Selain itu, Kementerian juga mendorong pemerintah daerah melakukan realokasi anggaran dan belanja tidak terduga untuk menangani pandemi corona.

“Tidak untuk mempersulit atau mencari masalah, tapi sekadar memastikan governance (tata kelola) lebih baik dan kredibel saja,” kata Prastowo.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement