Tangani Corona, Utang Pemerintah Melonjak 14% jadi Rp 5.172 Triliun
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir April 2020 naik 14,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 5.172,48 triliun. Adapun rasio utang tercatat 31,78% terhadap produk domestik bruto.
Meski meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, posisi utang pemerintah turun dibandingkan bulan sebelumnya Rp5.192,56 triliun. Penurunan juga terjadi pada rasio utang terhadap PDB yang pada Maret lalu mencapai 32,12%. Adapun hal ini terutama disebabkan oleh apresiasi pada nilai tukar rupiah.
Mengutip buku APBN KiTa edisi Mei 2020, total utang pemerintah tersebut masih didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara yakni 83,9% atau mencapai Rp 4.338,44 triliun. Sementara utang pemerintah dalam bentuk pinjaman tercatat Rp 834,04 triliun atau 16,1%.
Adapun total SBN tersebut terdiri dari SBN domestik Rp 3.112,15 triliun dan SBN valas Rp 1.226,29 triliun. Lebih perinci, SBN domestik terdiri dari Surat Utang Negara Rp 2.579,4 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 532,75 triliun. Sementara itu, SBN valas terdiri dari SUN sebesar Rp 995,89 triliun dan SBSN Rp 230,39 triliun.
(Baca: Penerimaan Pajak Terpukul Pandemi, Defisit APBN hingga April Rp 74,5 T)
Lebih lanjut, total pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 9,92 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 824,12 triliun. Adapun pinjaman luar negeri berbentuk kerja sama bilateral senilai Rp 333 triliun, multilateral Rp 448,45 triliun, dan dari bank komersial Rp 42,68 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut realisasi pembiayaan utang sejak awal tahun hingga April 2020 mencapai Rp 223,84 triliun. Ini terdiri dari realisasi SBN Rp 227,58 triliun dan pinjaman negatif Rp 7,78 triliun.
"Dengan demikian realisasi tersebut sebesar 22,2% dari target Perpres 54 tahun 2020," kata Suahasil dalam konferensi video, Rabu (20/5).
(Baca: Risiko BUMN Gencar Mencari Utang Valas di Masa Pandemi Covid-19)
Dalam Perpres 54 tahun 2020, target pembiayaan utang pemerintah tercatat sebesar Rp 1.006,4 triliun, terdiri dari SBN neto Rp 999,4 triliun dan pinjaman neto Rp 7 triliun.
Realiasi pinjaman yang mencapai angka negatif menunjukkan bahwa realisasi pembayaran cicilan pokok pinjaman lebih besar daripada penarikan pinjaman. Realisasi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri tercatat sebesar Rp 27,05 triliun dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp 19,21 triliun. Sedangkan, penarikan pinjaman dalam negeri tercatat sebesar Rp 500 miliar serta pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri belum terealisasi.
Selain itu, kondisi luar biasa yang diakibatkan oleh Covid-19 mendorong pemerintah untuk mengambil langkah luar biasa. Salah satunya dengan kebijakan yang memperbolehkan Bank Indonesia untuk membeli SBN tradable jangka panjang di pasar perdana sebagai last resort/backstop.