Beda Sikap Tiongkok dengan RI soal Utang untuk Stimulus Pandemi Corona
Sejumlah negara berlomba-lomba menggelontorkan stimulus fiskal untuk memulihkan perekonomian yang terpukul akibat virus corona, termasuk Indonesia. Namun, sikap berbeda justru ditunjukkan oleh Tiongkok yang menjadi negara asal pandemi tersebut.
Pemerintah Tiongkok enggan menggelontorkan banyak stimulus ekonomi untuk mengatasi dampak pandemi corona lantaran khawatir dampaknya pada utang negara.
Oleh karena itu, Presiden Xi Jinping dalam pertemuan parlemen yang digelar Jumat (22/5) menyatakan Tiongkok tak menetapkan target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Pasalnya jika target ditetapkan, pemerintah harus fokus pada pemberian stimulus yang kuat."Hal itu tidak sejalan dengan tujuan dari pengembangan ekonomi dan sosial kami," ujar Xi.
Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang dalam kesempatan yang sama menyatakan program stimulus dalam proposal anggaran tahun ini hanya berkisar 2% dari pengeluaran ekonomi tahun lalu. Seperti dikutip dari Forbes.com, Tiongkok kemungkinan hanya menyuntikan stimulus ekonomi sebesar 3,6 triliun yuan atau sekitar Rp 7.400 triliun untuk mengatasi krisis akibat pandemi corona.
Tiongkok pernah menerbitkan banyak stimulus ekonomi dengan mengandalkan utang pada krisis ekonomi global satu dekade lalu. Kebijakan tersebut membuat Negara Tembok Raksasa itu terbebani.
(Baca: Waspadai Utang, Tiongkok Tak Beri Banyak Stimulus Ekonomi Atasi Corona)
Mengutip South China Morning Post, Lembaga Pembangunan dan Keuangan Tiongkok mencatat total utang negara tersebut hingga akhir tahun lalu mencapai 245,4% terhadap GDP, naik 6,1% dibandingkan akhir 2018. Adapun utang luar negeri Tiongkok, termasuk dalam dolar AS mencapai US$ 2,05 triliun per akhir 2019. Jumlah ini naik dibanding kuartal tiga 2019 sebesar US$ 2,03 triliun.
Sementara itu, stimulus yang digelontorkan untuk memulihkan dampak corona bahkan kurang dari 20% rencana stimulus Amerika Serikat yang diperkirakan mencapai US$ 3 triliun atau lebih dari Rp 44.000 triliun. Namun tentu angka ini masih jauh lebih besar dibanding Indonesia yang hanya mencapai sekitar Rp 641 triliun.
Berbeda dengan Tiongkok, AS lebih bersikap leluasa terhadap posisi utang mereka. Mengutip CNN, Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell bahkan menyatakan bukan waktunya khawatir dengan utang dalam kondisi saat ini. Kekhawatiran terhadap utang dinilai dapat menghalangi langkah untuk menyelamatkan ekonomi yang terpukul akibat pandemi corona.
(Baca: Survei LIPI: 41% Pengusaha Bertahan hingga Juli, Agustus Gulung Tikar)
Adapun total utang AS sebelum pandemi sudah mencapai 80% terhadap PDB. Saat ini, utang negara ekonomi terbesar dunia ini bahkan telah mencapai hampir US$ 25 triliun.
Ekonomi AS dan Tiongkok anjlok pada kuartal pertama tahun ini akibat pandemi corona. Tiongkok mencatatkan ekonomi negatif 6,8%, sedangkan AS minus 4,8%.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia tak seleluasa AS dalam menggelontorkan stimulus dengan mengabaikan kenaikan utang. Namun, tak seketat Tiongkok yang memilih mengabaikan pertumbuhan ekonomi demi tak mengerek utang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menekankan besaran stimulus yang digelontorkan pemerintah memperhitungkan kebutuhan ekonomi dan kemampuan negara. "Kalau bicara apakah ada anggarannya atau tidak untuk memunuhi stimulus lebih besar, semua negara melakukan penerbitan utang dan dalam hal ini kami berhati-hati," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Rabu (22/4).
(Baca: Sri Mulyani: Defisit APBN 2020 Berpotensi Tembus Rp 1.000 Triliun)
Meski menekankan sikap hati-hati, Sri Mulyani belakangan menambah alokasi stimulus fiskal untuk memulihkan ekonomi dari semulai sekitar Rp 400 triliun menjadi Rp 641 triliun. Pemerintah pun masih berharap ekonomi domestik tahun ini mampu tumbuh 2,3%.
Di sisi lain, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mrmpoyeksi defisit APBN tahun ini berpotensi menembus Rp 1.000 triliun. "APBN bisa defisit Rp 1.028,5 triliun atau 6,72% dalam rangka memerangi dan mendorong ekonomi agar bertahan di tengah tekanan virus corona dan diharapkan bisa pulih lagi," ujar Sri Mulyani pada Senin (18/5).
Outlook defisit tersebut lebih tinggi dari perkiraan pemerintah sebelumnya dalam Pepres Nomor 54 tahun 2020 sebesar Rp 852,9 triliun atau 5,07% terhadap PDB. Adapun total utang pemerintah pusat hingga April 2020 naik 14,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 5.172,48 triliun.