Jadi Incaran Pria Setiap Lebaran, Peci dan Sarung Punya Sejarah Unik
Peci dan Sarung menjadi fesyen pilihan mayoritas pria muslim dalam merayakan Lebaran. Survei iPrice bersama Tokopedia pada 2019 mencatat, peci menjadi produk fesyen paling banyak dibeli saat Ramadan dengan porsi 28 persen, sedangkan sarung berada di posisi kedua dengan persentase 25 persen.
Survei produk fesyen muslim pria terlaris selama Ramadan tersebut dianalisis berdasarkan data transaksi lebih dari 200.000 konsumen fesyen muslim di Tokopedia selama bulan puasa tahun lalu. Sarung dan peci menjadi pilihan mayoritas pria muslim untuk merayakan hari raya.
(Baca juga : Sedihnya Lebaran di Perantauan)
Menurut Rozan Yunos dalam The Origin of the Songkok or Kopiah, peci awalnya diperkenalkan oleh pedagang Arab yang masuk ke Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Semenjak itu, peci menjadi penutup kepala yang lumrah dikenakan masyarakat luas setelah ajaran muslim mulai diterima penduduk setempat. Penutup kepala khas Arab ini diterima oleh kalangan Muslim Melayu karena menjadi sunah Nabi Muhammad untuk mengenakan penutup kepala.
"Ketika Islam datang ke Brunei Darussalam, sekitar 600 atau 700 tahun yang lalu, popularitas penutup kepala (sejenis turban) mulai mendapat perhatian lebih. Sebelum peci, kebudayaan Brunei sudah mengenal dastar atau tanjak," tulis Rozan.
Di Indonesia, peci sudah mulai dikenal sejak abad 15. Peci sudah terkenal di Giri yang menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa kala itu. Raja Ternate, Zainal Abidin yang pernah belajar agama di Madrasah Giri membawa peci sebagai buah tangan ketika pulang ke kampung halamannya. Saat itu peci begitu berharga sehingga bisa ditukar dengan rempah-rempah maupun cengkeh.
Tak hanya pakaian khas untuk kaum muslim, seiring perkembangan zaman peci dikenal sebagai identitas bangsa. Soekarno yang selalu mengenakan peci di hadapan publik. Menurut presiden pertama Indonesia ini, peci merupakan lambang Indonesia Merdeka.
Meski peci menjadi ciri khas busana Soekarno, sejarah mencatat bahwa Tjipto Mangunkusumo menggunakan kopiah atau dari beludru hitam terlebih dahulu pada tahun 1913 dalam rapat Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
(Baca juga : Oleh-Oleh Khas Daerah, Obat Kangen Kampung Halaman)
Sarung, Ciri Busana Santri
Sama seperti peci, sarung juga diperkenalkan oleh pedagang Arab yang menyebarkan ajaran Islam di Indonesia. Sarung pada mulanya digunakan untuk melaksanakan salat yang akhirnya menjadi pakaian untuk beribadah.
Sarung identik dengan santri di Tanah Air bahkan menjadi alat melawan kolonialisme Belanda pada 1800 hingga awal abad 20. Sarung juga merupakan ciri khas berbuasana para santri kala itu. Bahkan, pada tahun 1927, para ulama di Surabaya pernah mengeluarkan fatwa yang mengadopsi dari hadis Nabi bahwa barang siapa yang meniru perilaku suatu kaum maka ia termasuk dalam golongan tersebut. Sehingga, para santri akhirnya memilih mengenakan sarung dibanding celana agar tidak menyerupai kaum Belanda.
(Baca juga : Nostalgia Surga Wisata Belanja di Kampung Halaman)
Pemakaian sarung dan peci terus melekat pada para santri dan menjadi atribut mereka sehari – hari meski Belanda tak lagi menjajah negeri ini. Riset Olih Solihin mengungkapkan bahwa tradisi memakai sarung dilakukan para santri untuk menghormati kiai mereka.
Sejarah tradisi sarung yang begitu lekat di Indonesia khususnya kaum muslim menginspirasi para desainer fesyen untuk mengkampanyekan sarung sebagai busana khas Indonesia. Ali Charisma dan Dina Midiani memulai kampanye dengan tajuk “Sarung is My New Denim” agar kelak sarung bisa menjadi tren busana yang bisa tenar dikancah internasional.