Ekspor Melemah, RI Dituntut Lebih Adaptif dengan Kebutuhan Pasar Dunia
Kinerja ekspor Indonesia pada Mei 2020 mencatat penurunan. Kalangan pengusaha pun menilai, pemerintah perlu lebih beradaptasi dengan kebutuhan pasar global di tengah persaingan perdagangan dunia yang sedang ketat akibat pademi corona.
"Pelaku usaha dan eksportir harus pintar beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan menciptakan efisiensi yang lebih tinggi," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani kepada Katadata, Senin (15/6).
Menurutnya, adaptasi dan efisiensi perdagangan tersebut diperlukan lantaran kondisi permintaan pasar yang sedang menyusut, sehingga persaingan dagang meningkat tajam. Dengan situasi tersebut, hanya supplier yang paling efisien dan paling menjawab kebutuhan pasar yang mampu mencetak transaksi perdagangan.
(Baca: Impor Makin Anjlok, Neraca Perdagangan Mei Surplus US$ 2,09 Miliar)
Dengan kondisi perdagangan dan permintaan yang lesu, diperkirakan kinerja ekspor sepanjang tahun ini akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Adapun, pertumbuhan ekspor pada tahun lalu tercatat minus 0,87%.
Meski begitu, Indonesia seharusnya bisa lebih responsif dalam memanfaatkan pasar-pasar dunia yang masih memiliki permintaan cukup tinggi terhadap komoditas tertentu."Kita bisa menekan ketajaman penurunan kinerja ekspor tersebut," ujar dia.
Contohnya, seperti kebutuhan akan Alat Pelindung Diri (APD) dunia di tengah penambahan kasus wabah Covid-19 yang terus terjadi sampai saat ini. Dengan permintaan ini, beberapa perusahaan manufaktur, seperti tekstil atau garmen mungkin bisa mengalihkan produksi mereka ke komoditas yang permintaannya sedang tinggi secara global.
Selain itu, Indonesia juga perlu meningkatkan diversifikasi pasar dengan mengekspor produk ke pasar non-tradisional, meningkatkan diversifikasi produk ekspor, serta memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) secara maksimal.
Secara keseluruhan, pelaku usaha pun sudah menyadari bahwa kinerja ekonomi dan perdagangan Indonesia dan global tidak akan segera pulih tahun ini.
(Baca: Defisit Neraca Dagang RI-Tiongkok per Mei Turun Menjadi US$ 4,6 M)
Terlebih, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menegaskan bahwa pertumbuhan perdagangan global tahun ini akan menyusut antara 13-32% akibat pandemi covid-19.
Bank Dunia juga memperkirakan bahwa perekonomian global akan mengalami resesi terparah sejak perang dunia.
Selain itu, Dana Moneter Internasional (IMF) dikabarkan akan mengeluarkan revisi proyeksi ekonomi global menjadi lebih rendah dibanding proyeksi pada April lalu, yaitu minus 3%. "Karena itu, skenario terbaik saat ini adalah U-shape recession yakni pemulihan kinerja ekonomi dan perdagangan diharapkan terjadi pada 2021 seperti proyeksi the Fed," ujar Shinta.
Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan pada Mei 2020 surplus US$ 2,09 miliar. Angka ini jauh membaik dibandingkan April yang tercatat defisit sebesar US$ 350 juta, maupun periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 2,5 miliar.
Adapun secara kumulatif Januari-Mei 2020, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus US$ 4,31 miliar.
Kendati demikian, Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan surplus neraca dagang terjadi akibat impor yang anjlok cukup dalam mencapai 32,65% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 8,44 miliar. Penurunan bahkan mencapai 42,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sementara ekspor pada Mei 2020 tercatat lebih rendah 13,4% dibanding bulan sebelumnya menjadi US$ 10,53 miliar, maupun periode yang sama tahun lalu yang mana turun hingga 28,95%.
"Neraca perdagangan surplus memang menggembirakan, tapi kita perlu waspadai komponen di dalamnya di mana ekspor kita turun 28,95% impor turun lebih dalam 42,2%," ujar Suhariyanto dalam konferensi video, Senin (15/6).