Istana Sebut Jokowi Tak Bisa Intervensi Persidangan Kasus Novel
Istana mengklaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap berkomitmen dalam mereformasi hukum di Indonesia. Namun Presiden tetap tak bisa mengintervensi jalannya persidangan terhadap pelaku penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Sebelumnya Novel menilai persidangan terhadap pelaku penyerangnya baru sampai kepada tuntutan dan masih bisa diintervensi di ranah eksekutif. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menyerahkan jalannya persidangan sesuai prosedur yang berlaku.
“Jadi saya kira apa yang dikatakan Pak Novel menjadi kepedulian dan menjadi tujuan pemerintah itu sendiri,” kata Donny saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (17/6).
(Baca: Tim Advokasi Temukan 9 Kejanggalan di Sidang Penyiraman Novel Baswedan)
Donny juga menanggapi permintaan Novel agar Jokowi turun tangan membenahi persoalan hukum, termasuk sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, Presiden peduli dengan persoalan sistem hukum RI yang perlu dibenahi. “Mulai dari penegakan hukum, sistem peradilan, dan semua yang terkait dengan hukum dan keadilan,” kata Donny.
Menurut Novel, Jokowi bisa ikut memperbaiki masalah tersebut lantaran Indonesia menerapkan sistem presidensial. Apalagi menurutnya kekuasaan tertinggi pemerintah berada di tangan Jokowi. Berbeda jika persidangan sudah mencapai tahap putusan yang menjadi ranah yudikatif sehingga pemerintah tak bisa ikut campur.
“Sampai tuntutan ini adalah ranah Presiden. Karena itu saya berharap Presiden Indonesia, Pak Jokowi ini mau bersikap," kata Novel dalam diskusi virtual, Selasa (16/6).
Lebih lanjut, Novel menilai permintaannya ini bukan karena dirinya menjadi korban namun masalah ini bisa juga terjadi kepada siapa saja di Tanah Air. Karena itu, dia merasa harus marah dengan jalannya penegakan hukum di Indonesia.
“Kalau terjadi kepada orang lain bagaimana? Saya aparatur dikerjai, seperti diabaikan. Bagaimana dengan masyarakat umum," katanya.
Dua pelaku penyerang Novel, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut dengan ancaman 1 tahun penjara. Jaksa mengatakan, tuntutan ringan kepada Ronny dan Rahmat lantaran mereka sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Jaksa juga menganggap keduanya tidak memenuhi unsur dakwaan primer dari penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP. Menurut jaksa, keduanya tak ingin menganiaya Novel secara berat, meski di luar dugaan menyebabkan cacat permanen.
Dalam surat tuntutan, Ronny dan Rahmat disebut menyerang Novel karena dianggap mengkhianati Polri. “Sehingga menimbulkan niat untuk memberikan pelajaran dengan membuat luka berat,” kata Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara Ahmad Fatoni dalam persidangan kasus tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6).
(Baca: Tuntutan 1 Tahun Penjara Penyiram Novel Dianggap Panggung Sandiwara )