Alasan Istana Terlambat 10 Hari Unggah Video Jokowi soal Reshuffle
Pidato Presiden Jokowi yang menyinggung perombakan kabinet (reshuffle) dalam sidang kabinet paripurna pda 18 Juni 2020 mendapat sorotan karena baru diunggah ke akun Youtube Sekretariat Presiden pada Minggu (28/6) sore. Deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin menjelaskan alasan di balik keterlambatan pengunggahan video tersebut.
Bey menjelaskan sidang kabinet paripurna yang berlangsung 11 hari lalu tersebut awalnya bersifat internal dan bukan untuk konsumsi publik. Materi sidang hanya untuk kalangan terbatas, yakni para menteri dan kepala lembaga. “Namun setelah kami pelajari pernyataan Presiden, banyak hal yang baik dan bagus untuk diketahui publik,” kata Bey dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/6).
Atas dasar itu, Bey meminta izin untuk mengunggah pidato sidang kabinet paripurna kepada Jokowi. Namun, Bey perlu waktu untuk mempelajarinya. Dia harus berulang kali mengkaji isi dari pidato Jokowi dalam sidang kabinet paripurna tersebut. “Makanya baru dipublikasi pada Minggu 28 Juni 2020,” kata Bey.
(Baca: Jokowi Ancam Reshuffle Kabinet, Kinerja Beberapa Sektor Disorot)
Saat berpidato membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu, Jokowi mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja sejumlah bawahannya. "Saya harus ngomong apa adanya, tidak ada progres signifikan (dalam penanganan krisis akibat Covid-19). Tidak ada," kata Jokowi dalam video sidang kabinet tersebut yang baru diunggah Sekretariat Presiden di akun Youtube resminya, Minggu (28/6).
Padahal, menurut Jokowi, kondisi sejak tiga bulan lalu dan setidaknya tiga bulan ke depan dalam suasana krisis. Ia merujuk pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dibuat beberapa lembaga internasional belum lama ini. "OECD bilang pertumbuhan ekonomi (dunia) terkontraksi 6% bisa sampai 7,6% minusnya. Bank Dunia (proyeksi ekonomi dunia) bisa minus 5%."
Karena itu, Jokowi meminta para menteri memiliki sense of crisis yang sama dalam menangani kondisi tersebut. "Jangan biasa-biasa saja, jangan anggap normal," katanya. (Baca juga: Jokowi: Belum Berpikir untuk Reshuffle Kabinet)
Namun yang terjadi, Jokowi melihat masih banyak bawahannya yang menganggap kondisi saat ini masih normal sehingga kerjanya standar saja. "Ini harus extraordinary. Perasaan ini harus sama, kalau ada satu saja berbeda bahaya. Jadi tindakan-tindakan kita, keputusan-keputusan kita, suasananya harus suasana krisis. Jangan kebijakan biasa-biasa saja, anggap ini normal. Apa-apaan ini," katanya dengan nada tinggi.
Selain kurangnya senses of crisis, Presiden juga mempersoalkan belanja kementerian yang belum memuaskan. "Laporannya masih biasa-biasa saja. Segera belanjakan sehingga konsumsi akan naik dan peredaran uang akan makin banyak," katanya.
(Baca juga: SMRC: 71% Masyarakat Nilai Ekonomi Rumah Tangga Memburuk saat Pandemi)
Jokowi Soroti Tiga Sektor
Ada tiga sektor yang mendapat sorotan Jokowi. Pertama, bidang kesehatan dengan anggaran Rp 75 triliun. Jokowi mengkritik penggunaan anggarannya baru sekitar 1,53%. "Pembayaran dokter, tenaga spesialis keluarkan. Belanja peralatan keluarkan," katanya. Dengan begitu, uang beredar di masyarakat tersebut dapat memicu aktivitas perekonomian.
Kedua, bantuan sosial ke masyarakat. "Ini harusnya 100% sudah disalurkan," katanya.
Ketiga, sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). "Segera stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha kecil mikro, mereka tunggu semuanya. Jangan biarkan mereka mati dulu, baru kita bantu," kata Jokowi.
(Baca juga: Tepis Isu Jokowi akan Reshuffle Kabinet, Moeldoko: Lagi Kerja Kencang)
Ia menambahkan, stimulus ekonomi juga diberikan kepada sektor manufaktur yang merupakan industri padat karya. Langkah ini diharapkan bisa mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. "Jangan pas ada PHK, duit serupiah pun tidak masuk ke stimulus ekonomi kita."
Jokowi pun mengungkapkan penilaiannya terhadap kinerja bawahannya dalam menangani krisis pandemi. "Saya harus ngomong apa adanya tidak ada progres signifikan," katanya.
Jokowi mendesak para menteri membuat langkah dan kebijakan luar biasa untuk mengatasi krisis saat ini. Bentuknya bisa berupa pembuatan aturan baru. Presiden pun siap mendukung jika memang dibutuhkan untuk membuat peraturan presiden, bahkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Saya pertaruhkan reputasi politik saya. Langkah apapun akan saya lakukan untuk 267 juta rakyat Indonesia," katanya. Bahkan, Jokowi siap mengambil langkah lebih besar lagi, seperti membubarkan lembaga atau reshuffle kabinet. "Sudah kepikiran kemana-mana saya. Kalau memang diperlukan karena memang suasana (senses of crisis) ini harus ada.."