Tak Laik Terbang, Ini Kronologis Pecah Kongsi Sriwijaya dengan Garuda
Dua direktur maskapai penerbangan Sriwijaya Air, yaitu Direktur Operasi Kapten Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Ramdani Ardali Adang, memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan. Keputusan ini dibuat karena surat permohonan untuk mengentikan operasional secara sementara Sriwjaya Air Group tidak direspon oleh dewan direksi, dalam hal ini Pelaksana Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena.
“Karena surat ini tidak direspon dan tetap melanjutkan penerbangan secara normal, kami berdua mengundurkan diri untuk menghindari konflik kepentingan,” kata Direktur Operasi Kapten Fadjar Semiarto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (30/9), seperti dikutip dari Antara.
Fadjar menjelaskan pihaknya telah menyampaikan surat rekomendasi untuk penghentian sementara operasional Sriwjaya karena dinilai tidak laik, baik dari sisi operasional, teknis, dan finansial.
Berdasarkan penilaian hazard, identification and risk assessment (HIRA), status Sriwijaya Air Group saat ini berada dalam rapor merah atau berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan.
(Baca: Kerja Sama dengan Garuda Hampir Kandas, Sriwijaya Butuh Investor Baru)
Selain itu, adannya dualisme kepemimpinan di tubuh perusahaan saat ini membuat koordinasi menjadi sulit. “Dan ini tidak rasional,” ucapnya. Saat ini Jefferson Irwin Jauwena menjabat pelaksana tugas direktur utama. Namun, dalam akta perusahaan terbaru, yang menjabat posisi itu adalah Robert Waloni.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Teknik Sriwjaya Air Ramdani Ardali Adang menjelaskan perawatan pesawat Sriwijaya terbengkalai sejak putusnya kerja sama dengan PT Garuda Maintenance Facilities AeroAsia, anak usaha Garuda Indonesia.
Kerja sama itu putus karena Sriwijaya kerap berutang kepada GMF AeroAsia. Total tunggakannya sekarang mencapai Rp 800 miliar dan berpotensi macet.
“Perlu kami sampaikan, kami peduli keselamatan. Laporan terkini sejak putus dengan GMF, suku cadang saja tidak ada, hanya oli saja, ban terseok-seok,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, tenaga kerja teknisi juga terbatas. Tiga teknisi dan dua mekanik digenjot untuk bekerja 12 jam. Padahal, diperlukan istirahat untuk merilis pesawat layak terbang.
“Saya terus terang sejak putus GMF hingga saat ini saya khawatir sekali HIRA-nya cukup merah, memang belum terjadi sesuatu tapi dari indikasi tersebut berpotensi terhadap penerbangan,” ujar Ramdani.
Sebelumnya beredar rekomendasi penghentian sementara operasional Sriwijaya Air Group dari Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Subandoro kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena.
Dalam surat nomor Nomor: 096/DV/1NT/SJY/1X/2019 tertanggal 29 September 2019 yang beredar, Toto menjelaskan, rekomendasi itu diputuskan usai Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan melakukan pengawasan terhadap keselamatan penerbangan Sriwijaya.
Pemeriksaan itu menemukan adanya ketidaksesuaian pada laporan yang disampaikan perusahaan pada 24 September 2019 ke DKPPU. Termasuk di dalamnya, bukti maskapai berkode SJ itu belum berhasil melakukan kerja sama dengan JAS Engineering atau perusahaan MRO (maintenance, repair, overhaul) lain terkait dukungan pemeliharaan dan perawatan pesawat terbang.
Sejumlah temuan lainnya adalah ketersediaan tools, equipment, minimum suku cadang dan jumlah tenaga teknisi berkualifikasi yang ada di perusahaan ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan.
Hal ini berarti indeks risikonya masih berada dalam zona merah 4A alias tidak dapat diterima dalam situasi yang ada. Artinya, Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan pemerintah untuk melakukan perbaikan.
(Baca: Citilink Gugat Sriwijaya Air karena Diduga Langgar Perjanjian)
Namun, Kapten Toto dalam siaran persnya kepada wartawan hari ini, Senin (30/9), menegaskan surat itu murni masukan yang sifatnya internal. “Ini murni masukan yang hendak saya sampaikan dalam rapat manajemen terkait temuan dan kondisi beberapa waktu lalu dan sifatnya kondisional saja,” katanya.
Sriwijaya Air dan NAM Air sampai sekarang masih menjalankan kegiatan operasionalnya secara normal. Masalah yang membelit perusahaan telah teratasi melalui direktorat terkait.
“Kemarin Direktur Teknik pun sudah memberikan klarifikasi dan tanggapan atas temuan kami,” ucap Kapten Toto. Sriwijaya Air dan Nam Air dipastikan masih mengudara di bawah pengawasan Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan.
Bantahan berhenti beroperasi ini juga perusahaan sampaikan pada Kamis lalu. “Informasi stop operasi itu tidak benar. Kami masih melayani pelanggan dan reservasi pun tetap kami buka,” ujar Direktur Komersial Sriwijaya Air Rifai Taberi dalam keterangan persnya pada Kamis lalu.
Rifai mengimbau masyarakat agar tidak resah. Perusahaan memastikan aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan penerbangan masih menjadi prioritas.
(Baca: Citilink Belum Tentukan Direksi Sriiwjaya Air)
Awal Mula Kerja Sama Garuda dan Sriwijaya
Rekomendasi berhenti beroperasi muncul setelah Sriwijaya memutuskan kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia Group. Sejalan dengan itu, perusahaan juga melakukan perombakan direksinya. Keputusan ini efektif mulai 9 September lalu.
Tiga perwakilan Garuda di Sriwijaya yang mendapat tugas membantu permasalahan keuangan perusahaan diganti. Ketiganya adalah Direktur Utama Joseph Andrian Saul, Direktur Sumber Daya Manusia dan Layanan Harkandri M Dahler, dan Direktur Komersial Joseph K Tendean.
Sebagai gantinya, pemegang saham menunjuk Anthony Raimond Tampubolon sebagai pelaksana tugas Direktur Utama, Amirullah Hakiem selaku Direktur Keuangan, dan Fadjar Semiarto sebagai Direktur Operasi.
Pemegang saham juga menunjuk Romdani Ardali Adang selaku Direktur Perwatan dan Teknik dan Toto Soebandoro sebagai Direktur. Anthony pada Kamis lalu posisinya digantikan oleh Jefferson Irwin Jauwena.
Kerja sama manajemen antara Garuda Group dan Sriwijaya bermula pada November lalu. Ketika itu Sriwijaya menyatakan kesulitan membayar utang kepada beberapa badan usaha milik negara. Total utangnya hingga akhir Oktober 2018 mencapai Rp 2,5 triliun.
Keluarga Lie, sebagai salah satu pemegang saham, menyerahkan manajemen Sriwijaya kepada Garuda. Awalnya, kerja sama operasi, yang belakangan berubah nama menjadi kerja sama manajemen ini berjalan lancar. Garuda menempatkan tiga pejabatnya di level komisaris dan lima orang di kursi direksi.
Kinerja perusahaan tampak terang ketika Sriwijaya menargetkan laba bersihnya tahun ini bisa mencapai Rp 300 miliar. Direktur Niaga Sriwijaya Air Joseph Dajoe K Tendean pada 15 Juli lalu mengatakan, target itu bisa tercapai dengan melakukan efisiensi.
Perusahaan yang telah berdiri hampir 16 tahun itu menargetkan pendapatannya dapat tumbuh 30%. Sebagai catatan, tahun lalu Sriwijaya mengalami kerugian hingga Rp 1,2 triliun.
Namun, optimisme itu hilang bulan ini. Kerja sama dengan Garuda terputus kurang dari setahun, lalu muncul dualisme kepemimpinan dalam perusahaan.
(Baca: Citilink: Sriwijaya Air Masih di Bawah Garuda Indonesia Group)
Atas dasar itu, Garuda mencabut logo Garuda Indonesia pada armada Sriwijaya. Vice Presiden Corporate Secretary Garuda Indonesia M Ikhsan Rosan mengatakan pencabutan logo itu merupakan upaya menjaga merek Garuda Indonesia Group.
“Untuk memastikan logo kami sesuai dan menjadi representasi tingkat keselamatan dan layanan yang dihadirkan dalam penerbangan,” katanya pekan lalu.
Citilink Indonesia pun telah resmi menggugat Sriwijaya dan NAM Air. Gugatan itu dilakukan karena Sriwijaya diduga melakukan wanprestasi dalam perombakan pengurus perusahaan tanpa izin.
Citilink yang memiliki perjanjian kerja sama manajemen dengan Sriwijaya, tidak dilibatkan dalam proses perombakan direksi maskapai penerbangan tersebut. VP Corporate Secretary & CSR Citilink Indonesia Resty Kusandarina mengatakan ketentuan mengenai pergantian pengurus perusahaan telah diatur dalam perjanjian KSM.
Vice Presiden Corporate Sriwijaya Air Retri Maya membenarkan adanya perombakan pengurus perusahaan tanpa izin tersebut. Namun, dia enggan berkomentar lebih lanjut soal gugatan yang diberikan oleh Citilink ke perusahaan.
Dalam pokok perkara gugatannya, Citilink memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Sriwijaya Air dan Nam Air selaku tergugat telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kerja sama yang telah disepakati sebelumnya.
(Baca: KPPU Duga Kerja Sama Citilink-Sriwijaya Langgar Persaingan Usaha Sehat)