Pembentukan Holding Jadi Kunci Pemerintah Konsolidasikan BUMN
Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menyatakan dukungannya atas rencana pemerintah membentuk perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Langkah ini dinilai bisa menjadi kunci pemerintah melakukan konsolidasi perusahaan negara untuk bisa ekspansi sampai ke kancah internasional.
Managing Director Lembaga Management FEB UI Toto Pranoto mengatakan kinerja BUMN saat ini dalam kondisi Pareto Condition, yakni terdapat perbandingan 20:80. Artinya, hanya ada 25 BUMN besar yang menghasilkan hampir 90 persen total pendapatan, dari total 118 BUMN yang ada.
Oleh karena itu, pembentukan holding BUMN ini merupakan sebuah ide yang baik untuk menciptakan nilai tambah yang juga berguna untuk mengubah komposisi pareto tersebut. Menurutnya, jika holding ini dijalankan secara sungguh-sungguh dalam dua tahun ke depan, maka paling tidak komposisinya dapat diubah menjadi 40:60.
“Ini harus menjadi kunci pembenahan BUMN pada periode pemerintahan Joko Widodo saat ini. Sehingga pada periode selanjutnya tinggal menyelesaikan PR sebesar 60% BUMN,” ujar Toto saat acara peluncuran bukunya, di Gedung FEB UI Salemba, Jakarta, Kamis (2/11).
(Baca: Pengusaha Ingatkan Holding BUMN Berpotensi Monopoli dan Kartel)
Rencana percepatan pembentukan holding company BUMN dalam rangka menciptakan efisiensi dan produktivitas BUMN, cukup penting dalam situasi persaingan global saat ini. Dia menjelaskan ada suatu penelitian yang menyebutkan responden dunia usaha Indonesia adalah yang paling tidak siap di ASEAN dalam menghadapi integrasi pasar regional. Indonesia masih kalah dibandingkan kesiapan Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Dalam penelitian tersebut, isu utama yang dihadapi bisnis di Indonesia adalah ketidaksiapan menghadapi pesaing yakni perusahaan multinasional luar negeri. Kemudian tingginya biaya logistik, kesulitan adaptasi menjadi perusahaan skala regional, serta terbatasnya international talent.
Pembentukan 6 holding BUMN di sektor Pertambangan, Energi, Perbankan, Perumahan, Konstruksi dan Jalan Tol serta pangan dirasa sudah tepat. Toto mencontohkan, kebanyakan holding yang terbentuk ini adalah di sektor sekunder seperti infrastruktur dan perbankan. Oleh karenanya, sektor sekunder ini bisa meningkatkan manfaat ekonomi ke sektor primer.
"Karena pengembangan sektor sekunder dan tersier bisa ikut membawa perkembangan sektor primer. Namun, kalau sektor primer yang dikembangkan belum tentu bisa ikut mengembangkan sektor sekunder dan tersier," ujarnya.
(Baca: Lapor Jokowi, Inalum Mampu Beli Saham Freeport Setelah Jadi Holding)
Meski begitu, pemerintah juga perlu melakukan dukungan dari sisi regulasi. Toto mengatakan bahwa daya saing BUMN terhambat karena banyaknya aturan, Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang harus dipatuhi. Masalahnya, banyak regulasi yang tidak sejalan dengan regulasi lainnya. Misalnya ketentuan tentang BUMN sebagai aset negara yang dipisahkan sering dibenturkan dengan UU Tipikor. Demikian pula regulasi yang mengatur privatisasi BUMN sangat birokratik.
Toto mencontohkan, dalam ketentuan Bursa Efek Indonesia (BEI) saja terdapat 25 tahapan yang harus dilalui sebelum BUMN bisa go public. Padahal, terjadi kondisi keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah untuk memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN). Hal ini tentu akan mengurangi kesempatan bagi BUMN untuk akses pendanaan dari pasar modal dan juga sekaligus mengurangi likuiditas bursa.