Mengenal Suku Samin dan Ajaran Sikep yang Meresahkan Penjajah
Suku Samin merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman Blora. Suku Samin dikenal sebagai petani padi di sekitar Pegunungan Kendeng. Kini, kebanyakan Suku Samin masih bermukim di pedalaman Blora, Jawa Tengah. Di tengah kemajuan zaman, Suku Jawa ini tetap kokoh mempertahankan tradisinya.
Dilansir dari buku Samin: Bahasa Persaudaraan dan Perlawanan (2017) karya Hari Bakti Mardikantoro, kata Samin berasal dari nama tokoh masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Samin berasal dari nama seorang penduduk desa Ki Samin Surosentiko yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Ki Samin Surosentiko adalah keturunan Adipati Brotodiningrat, bupati yang memerintah di Kabupaten Sumoroto atau yang kini disebut Tulungagung. Ki Samin Surosentiko lahir dengan nama Raden Kohar pada 1859.
Ayahnya adalah Raden Surowijoyo yang dikenal kerap membantu rakyat miskin di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Raden Surowijoyo atau Samin Sepuh membentuk sebuah gerakan moral masyarakat untuk menentang Belanda.
Ajaran moral tersebut berkembang menjadi ajaran Sikep Suku Samin. Mengikuti jejak sang ayah, Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko yang dinilai lebih merakyat, dia juga mengajarkan ajaran Sikep.
Pada 1890, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajaran sang ayah di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Masyarakat sekitar menerima dengan baik ajaran tersebut. Banyak orang yang merasa tertarik dan Samin Surosentiko berhasil mengumpulkan banyak pengikut dalam waktu singkat. Residen Rembang mencatat ada 722 orang yang menjadi pengikut ajaran tersebut pada 1903.
Jumlah tersebut meningkat pesat dalam kurun waktu tiga tahun. Pada 1907, pengikut Samin mencapai 5 ribu orang yang tersebar di Bojonegoro dan bagian Selatan Blora. Samin Surosentiko kemudian diangkat sebagai Ratu Adil, dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam oleh pengikutnya.
Bagi masyarakat setempat, Samin dikenal sebagai sosok mulia dan intelektual desa sehingga ia sangat dihormati. Namun, tidak bagi pemerintahan Hindia Belanda yang berkuasa saat itu.
Bagi Belanda, Samin dikenal sebagai residivis yang hobi keluar masuk penjara karena tidak patuh dengan aturan yang dibuat penjajah. Samin ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Penangkapan tersebut merupakan buah dari gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan Samin dan pengikutnya.
Meski tanpa kekerasan, kelompok ini kerap melakukan tindakan meresahkan, di antaranya enggan membayar pajak dan mengambil kayu di hutan tanpa izin. Samin Surosentiko berakhir diasingkan ke Kota Padang, Sumatera Utara bersama delapan pengikutnya. Sang pendiri suku Samin ini meninggal pada tahun 1914 di tempat pengasingan.