Menilik Sejarah Pembangunan Selokan Mataram Yogyakarta
Pengerjaan revitalisasi Selokan Mataram yang telah berlangsung sejak Juni 2021 mulai berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.
Seperti diketahui, kanal irigasi yang menghubungkan dua sungai besar yang ada di DI Yogyakarta, yaitu Sungai Opak dan Sungai Progo, yakni Selokan Mataram, tengah ditutup sementara untuk pengerjaan revitalisasi.
Mengutip merdeka.com, tercatat ada 544 hektare (ha) lahan sawah yang terdampak dari penutupan Selokan Mataram. Selain itu ada pula lahan lain yang terdampak, yakni kolam ikan seluas 230.120 meter persegi (m2), ternak sapi sejumlah 55 ekor, dan ternak domba 33 ekor.
Dilansir dari laman dprd-diy.go.id, revitalisasi Selokan Mataram ditargetkan akan rampung pada Desember 2023. Sehingga membutuhkan kurang lebih 1,5 tahun lagi untuk mengoptimalkan hal tersebut.
Melihat luasan lahan yang terdampak ini, terasa betul pentingnya peran Selokan Mataram di DI Yogyakarta. Kanal irigasi ini memiliki sejarah yang cukup unik, terutama terkait tujuan pembangunannya. Berikut ini, adalah ulasan mengenai sejarah Selokan Mataram.
Sejarah Selokan Mataram
Selokan Mataram, atau Kanal Yashiro dalam bahasa Jepang, merupakan kanal irigasi yang menghubungkan dua sungai besar di sebelah timur Yogyakarta. Saluran irigasi ini mengairi 15.734 ha lahan pertanian dan selesai dibangun pada 1944.
Selokan Mataram merupakan salah satu peninggalan sejarah yang masih bisa disaksikan hingga saat ini. Peninggalan tersebut berupa saluran yang mengalir dari barat ke timur, menghubungkan sungai Progo dan Opak.
Dalam buku berjudul "Selokan Mataram", sejarah pembangunan Selokan Mataram dimulai pada masa pemerintahan Jepang. Saat itu, banyak masyarakat yang dikirim ke berbagai daerah dan dijadikan pekerja paksa atau romusha. Mereka terpaksa membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung kepentingan militer Jepang melawan.
Nasib buruk masyarakat pribumi yang dikirim ke proyek kerja paksa sampai ke telinga penguasa Keraton Yogyakarta saat itu, Sultan Hamengkubuwono IX. Ia khawatir nasib serupa akan terjadi pada rakyatnya.
Sultan Hamengkubuwono IX kemudian berusaha mencegah orang Yogyakarta ditarik menjadi pekerja romusha. Ia kemudian mengeluarkan kebijakan, yang mengamanatkan warga Yogyakarta membangun saluran irigasi sepanjang 30 kilometer (km) dari Sungai Progo hingga Sungai Opak.
Pembangunan Selokan Mataram dijadikan alasan bagi masyarakat pribumi untuk menghindari kewajiban romusha. Dengan alasan masih dibutuhkan tenaga kerja untuk menyelesaikan proyek saluran irigasi, perlunya pemasangan jembatan dan lain-lain yang membutuhkan banyak tenaga.