Pembayaran Saham Freeport Terancam Batal karena Isu Lingkungan
Pembayaran saham divestasi PT Freeport Indonesia oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) terancam batal. Penyebabnya adalah belum selesainya masalah lingkungan dari kegiatan tambang perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Menurut Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, pembayaran tidak akan dilakukan jika Freeport Indonesia tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang tetap. Sedangkan, salah satu syarat mendapatkan IUPK adalah selesainya masalah lingkungan.
Selain itu, 11 bank asing penyokong dana Inalum enggan mengucurkan duitnya jika masih ada isu lingkungan. Karena itu, Inalum mendorong PTFI untuk segera menyelesaikan permasalahan lingkungan.
Jika tidak, transaksi saham divestasi senilai US$ 3,85 miliar sesuai yang tertuang dalam pokok-pokok perjanjian (Head of Agreement/HoA) pada Juli 2018 terancam batal. “Kalau isu lingkungan tidak selesai tidak ada pencairan dana. Payment tidak jadi,” kata Budi dalam Rapat Dengan Pendapat DPR, Rabu (17/10).
Meski belum selesai, Inalum menargetkan pembayaran bisa terlaksana Desember 2018. Awalnya, Inalum menargetkan pembayaran pembelian saham divestasi itu lunas November 2018.
Di sisi lain, Direktur Utama PTFI Tony Wenas mengatakan bahwa isu lingkungan sudah dibicarakan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutuanan (KLHK). Freeport juga menyatakan sudah mengkuti rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Adapun, BPK menemukan ada potensi kerugian dari kegiatan pertambangan Freeport sebesar Rp 185 triliun. Temuan itu dihitung Institut Pertanian Bogor (IPB) dari satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
(Baca: BPK: Potensi Kerugian Negara Akibat Tambang Freeport Rp 185 Triliun)
Dari temuan itu, ada delapan poin rekomendasi dari BPK. Pertama, penyelesian pembayaran royalti. Kedua, penyusutan wilayah tambang blok B. Ketiga, menempatkan jaminan reklamsi. Keempat, menawarkan divestsi kepada pemerintah. Kelima, langkah-langkah perbaikan ekosistem. Keenam, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Ketujuh, mengenai ijin penggunaan kawasan hutan. Kedelapan, evaluasi izin amdal atau Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).
Menurut Tony, dari rekomendasi BPK itu sudah enam poin yang diselesaikan. “Ada dua hal yaitu soal Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan IPPKH yang semestinya sudah siap diterbitkan KLHK," kata Tony.