Menghutankan Kembali Lahan Tambang Batu Bara
Deru kendaraan alat berat terdengar bersahutan di tengah teriknya langit Desa Lokbatu, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Desa Lokbatu merupakan kawasan stockpile (tempat penampungan dan pengangkutan) batu bara PT Adaro Energy Tbk. Pengangkutan ini dilakukan kontraktor PT Saptaindra Sejati (SIS).
Setiap hari truk jungkit (dumptruck) mengangkut batu bara dari lahan tambang ke tempat penampungan tersebut. Di stockpile, cakar-cakar kendaraan backhoe sudah siap memindahkan batu bara tersebut ke truk gandeng (double-trailer). Truk gandeng itu lalu mengantarnya ke Terminal Khusus Batu Bara Kelanis yang jaraknya 80 kilometer (km) dari tempat pengumpulan, untuk dikirimkan ke pelanggan.
Selama kuartal II tahun 2018, perusahaan besutan Garibaldi Thohir atau Boy Thohir ini berhasil memproduksi batu bara 13,11 juta ton (Metric ton/Mt). Dari jumlah tersebut, yang berhasil terjual sebanyak 12,88 Mt.
Jika diasumsikan seluruh batu bara itu dijual dengan harga US$ 98,2 per ton (rata-rata Januari hingga Juli), maka Adaro bisa mengantongi US$ 1,26 miliar atau Rp 18,2 triliun. Itu sekitar tiga kali lipat pendapatan daerah Kalimantan Selatan tahun anggaran 2017 mencapai Rp5,6 triliun
Namun, di sisi lain, perusahaan tak bisa seenaknya mengeruk batu bara dari perut bumi, tanpa memperhatikan lingkungan. Pemerintah mewajibkan adanya reklamasi dan pascatambang kepada seluruh perusahaan tambang, tak terkecuali Adaro.
Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, terutama pasal 2. Ada juga aturan teknisnya diatur melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 tahun 2018.
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2018, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Reklamasi ini dilakukan di wilayah eksplorasi dan produksi.
Adaro, sebagai kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), pun melakukan kewajiban tersebut. Salah satu reklamasi yang sudah dilakukan berada di Tambang Paringin. Kalimantan Selatan yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun.
Lahan bekas tambang seluas 113 hektare itu kini bahkan sudah dihuni beberapa spesies. Di sana ada tiga kelompok bekantan. Setiap kelompok terdiri dari 15 hingga 20 ekor bekantan. Selain monyet berhidung panjang, ada 37 jenis burung yang menghuni areal tersebut. “Kalau habitatnya pulih, hewan-hewan akan datang kembali,” kata R&D Rehabilitation & Mine Closure Section Head PT Adaro Indonesia, Fazlul Wahyudi saat berbincang dengan wartawan di Tabalong, Jumat (10/8).
Tak hanya di daerah itu, Adaro pun melakukan reklamasi dan revegetasi di 1.500 hektare lokasi pascatambang dan terdampak kegiatan penambangan seperti daerah aliran sungai (DAS) sejak 2010. Tahun ini perusahaan menargetkan reklamasi 750 hektare. Padahal yang dijaminkan pemerintah hanya 310 hektare.
Ada beberapa jenis pohon di lahan reklamasi Adaro yakni cover crops (rerumputan), fast growing (cepat tumbuh), dan sisipan. Jenis pohon fast growing terdiri dari Sengon, Pinus, Eucalyptus, Acasia Crassicarpa, Pulai, Alaban, Sungkai, Ketapang, Lamtoro, Trembesi, Kaliandra Merah, Kaliandra Putih, Cassia SP. Untuk tanaman sisipan adalah Ulin, Gaharu, Bayur, Shorea Leprosula, Shorea Parvifolia, Shorea Parvistipulata, Kapur, Keruing, Mahang, Mersawa, Bengkiray, Shorea Balangeran.
Selain itu juga ditanam jenis tanaman yang tidak hanya dimanfaatkan batangnya (Multi Purposes Tree Spesies/MTPS). Di antaranya buah-buahan lokal seperti Kalangkala, Sawo, Taraf, Kapul, Jengkol, Langsat, Pampakin, Durian, Ketapi, Kuini, Manggis, Kasturi, Rambai, dan Ramania.
Memanfaatkan Limbah Air Tambang
Tak hanya reklamasi, Adaro pun berupaya memanfaatkan limbah air tambang. Limbar air tambang tersebut biasanya ikut terangkut ketika perusahaan mengeruk tanah untuk mendapatkan batu bara di perut bumi.
Adaro pun membangun fasilitas yang bisa mengubah air tambang menjadi air bersih (Water Treatment Plant/WTP) sejak 2009. Pada tahun 2013, fasilitas itu bisa memurnikan 366 juta meter kubik air pertambangan.
Air limbah tambang yang sudah diolah itu sebenarnya bisa langsung diminum. Bahkan kualitas air ini diklaim lebih baik dari milik Perusahaan Daerah Air Minum karena ada proses coagulant yang menyaring partikel kecil di lumpur.
Namun, yang dialirkan melalui pipa ke masyarakat tidak bisa langsung diminum, hanya siap pakai. Air tersebut tidak bisa diminum karena takut tercemar selama proses penyaluran melalui pipa.
Saat ini dua desa yang menikmati air itu secara gratis yakni Padang Panjang dan Dehai. Kurang lebih ada 1.137 rumah tangga yang menikmati air bersih itu melalui pipa. Selain itu, ada 5.521 rumah tangga yang dipasok dengan truk air dengan total konsumsi tahunan 100 juta liter.
(Baca: Adaro Pelopori Penggunaan Minyak Jelantah untuk Bahan Bakar Mobil)
Selain itu, Adaro juga memanfaatkan air bekas tambang untuk budidaya perikanan. Adapun, ikan yang dibudidayakan antara lain pipih, nila, dan papuyu.