Kementerian ESDM Maksimalkan Pengangkutan Minyak Demi Target Lifting
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus memaksimalkan pengangkutan minyak bumi yang saat ini masih berada di tangki penyimpanan. Ini untuk mengejar target produksi siap jual (lifting) yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas)Djoko Siswanto mengatakan target lifting minyak belum tercapai karena masih ada yang belum diangkut dari tangki. "Di depot masih ada 5,2 juta barel. Nanti kami lifting. Jadi lifting naik," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/7).
Ada beberapa faktor yang membuat stok minyak di terminal penampungan belum sepenuhnya bisa diangkut. Salah satunya masalah jadwal kapal yang mengangkut minyak.
Mengacu data SKK Migas, secara menyeluruh, lifting migas selama enam bulan pertama ini hanya 1,923 juta boepd. Padahal target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 2 juta boepd. SKK Migas memprediksi i hingga akhir tahun lifting migas tidak mencapai 100%, yakni hanya mencapai 1,891 juta boepd atau 95 dari target.
Jika dirinci, lifting minyak sejak awal tahun hingga akhir Juni mencapai 771 ribu bph dari target 800 ribu bph. Prediksi lifting minyak sampai akhir tahun hanya 775 ribu bph atau 97% dari target.
Adapun lifting gas bumi mencapai 1.152 juta boepd atau 96% dari target yang sebesar 1,2 juta boepd. Hingga akhir tahun 2018 lifting gas diprediksi mencapai 1.116 juta boepd atau 93% dari target.
Menurut Djoko, lifting gas belum tercapai karena serapan dalam negeri belum optimal. Salah satunya dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang juga sebagai konsumen besar gas domestik saat ini.
Di sisi lain, PLN memakai gas sesuai kondisi tertentu. Pembangkit berbahan gas hanya dipakai saat beban puncak yakni jam 17.00 hingga 23.00. Sementara di siang hari PLN lebih banyak menggunakan batu bara. Alhasil, bahan bakar gas tidak selalu menjadi andalan pada pembangkit listrik PLN.
(Baca: Lifting Migas Belum Capai Target, Cost Recovery Sudah US$ 5,2 Miliar)
Faktor lainnya adalah mahalnya harga gas membuat industri tak mau menyerap. "Iya, kalau harga gas mahal," kata Djoko.