PLN Ubah Skenario Proyek LNG Indonesia Tengah
PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) tengah mengevaluasi ulang proyek fasilitas gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) di Indonesia Tengah. Proyek yang digadang-gadang menjadi proyek LNG terbesar dunia ini dievaluasi karena harus menghitung ulang permintaan gas.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan penghitungan ulang permintaan gas itu karena dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, pembangkit bahan bakar gas berkurang. "Kami hitung ulang demand-nya," kata dia di Jakarta, akhir pekan lalu.
Di dalam RUPTL 2018-2027 pembangkit listrik PLN dipangkas menjadi 56.000 Megawatt (MW) dari sebelumnya 78.000 MW. Penurunan jumlah pembangkit itu pun mempengaruhi kebutuhan gas PLN.
Di RUPTL kali ini, kebutuhan gas turun menjadi 2.000 BBTUD. Padahal dalam RUPTL 2017-2026 prediksi kebutuhan gas PLN sebesar 3.300 BBTUD. Adapun tahun ini daya serap PLN terhadap gas untuk pembangkit sekitar 1.400 BBTUD.
Untuk itu, PLN sedang membicarakan kelanjutan proyek dengan peserta lelang. Saat ini hanya konsorsium PT Pertamina (Persero), Engie dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk melalui anak usahanya yakni PT PGN LNG Indonesia yang masih bertahan.
Jika konsorsium menolak perubahan kapasitas, proyek tersebut akan dilelang ulang. "Kalau berubah kapasitas mereka mau apa tidak itu kan pembicaraan. Dulu kan penawarannya untuk kapasitas yang besar, sekarang turun, apa mereka mau? agak sulit sih," kata Iwan.
Pada proyek itu, konsorsium tersebut akan membangun satu unit fasilitas regasifikasi dan penampungan (floating storage regasification unit/FSRU). Kemudian, satu unit kapal LNG besar yang mengangkut gas dan menyimpannya di FSRU. Ada juga kapal kecil yang membantu mengirimkan LNG ke terminal penerima.
(Baca: Konsorsium PGN, Pertamina dan Engie Akan Bikin Fasilitas LNG Terbesar)
Terminal penerima (receiving LNG) ini akan dibangun di 10 lokasi yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan hingga Nusa Tenggara Barat. Total investasi untuk membangun proyek tersebut diperkirakan sekitar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 13,51 triliun. Adapun 10 lokasi tersebut nantinya membutuhkan gas sebanyak 150 juta kaki kubik per hari (mmscfd).