Indonesia Masuk 10 Negara dengan Iklim Investasi Migas Terburuk
Iklim investasi minyak dan gas bumi di Indonesia ternyata masih kalah menarik dibandingkan banyak negara lain di dunia. Penilaian ini muncul dari hasil penelitian Fraser Institute yang berbasis di Kanada, yang mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi terburuk tahun ini, bersama Venezuela, Bolivia, Libya, Irak, Ekuador, California, Kamboja, Prancis dan Yaman.
Dari hasil penelitian Fraser Institute yang bertajuk “Global Petroleum Survey 2017”, Indonesia menempati posisi 92 dari 97 negara. Bahkan, Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia di posisi 57, Brunei (40), Papua Nugini (84), India (72), Thailand (36), dan Vietnam (61). Posisi ini merosot jauh dibandingkan tahun lalu, saat Indonesia menduduki posisi 79 dari 92 negara.
Pencapaian tahun ini itu merupakan hasil survei yang dilakukan Fraser terhadap 333 responden yang merupakan Chief Executive Officer (CEO), presiden direktur, wakil presiden direktur, direktur, manajer, geologis, konsultan, ekonom, bahkan pengacara. Survei ini dilakukan 23 Mei 2017 hingga 28 Juli 2017.
Ada 16 aspek yang ditanyakan kepada para responden tersebut. Di antaranya adalah rezim fiskal, sistem perpajakan, peraturan mengenai lingkungan hidup, penegakan hukum, biaya untuk kepatuhan aturan, kawasan lindung, hambatan perdagangan, aturan ketenagakerjaan, infrastruktur, basis data geologi, kemampuan tenaga kerja, klaim tanah sengketa, stabilitas politik, keamanan, tumpang tindih aturan dan sistem hukum.
Dari survei tersebut, Indonesia hanya memperoleh skor 35,02. Angka ini juga lebih rendah dibandingkan capaian tahun lalu yakni 45,83.
Padahal, Indonesia masuk dalam 15 negara pemegang cadangan migas besar. Tercatat Indonesia memiliki cadangan migas terbukti sebesar 22,67 miliar barel setara minyak (BBOE), masih di atas Mesir yang hanya 16,77 BBOE. Namun, Mesir berhasil menempati posisi 46 dari 97 negara dari segi daya tarik.
Ada dua faktor yang dianggap membuat iklim investasi sektor migas di Indonesia kurang menarik. Pertama adalah adanya perpajakan yang dipungut pada masa eksplorasi. Kedua,adalah skema kontrak bagi hasil gross split.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan penelitian dari Fraser tersebut memang sudah mencerminkan keadaan iklim investasi Indonesia saat ini. "Saya kira masalah ini sudah sama-sama kita ketahui sejak awal ya," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (6/12).
(Baca: Aturan Pajak Gross Split Dinilai Tak Akan Istimewa Bagi Investor)
Komaidi juga menilai sudah banyak kritik dan masukan yang diberikan kepada pemerintah agar iklim investasi hulu migas bisa lebih menarik. Harapannya, ke depan, pemerintah mau segera menindaklanjuti masukan-masukan yang sudah diberikan.
Hingga berita ini ditulis, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum menanggapi hasil penelitian Fraser tersebut. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dan Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama ( Biro KLIK) ESDM Dadan Kusdiana tidak membalas pesan yang dikirimkan Katadata.co.id.