Tarik Ulur Kemenkeu dan ESDM saat Penyusunan Pajak Gross Split
Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merampungkan draf Peraturan Pemerintah mengenai perpajakan untuk skema kontrak bagi hasil gross split. Namun, ada cerita menarik dibalik penyusunan aturan tersebut.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan di suatu kesempatan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar berkunjung ke Kementerian Keuangan. Kunjungan itu dalam rangka rapat bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
Rapat yang juga dihadiri Suahasil itu membahas masalah-masalah yang perlu diselesaikan mengenai pajak gross split. Dalam rapat tersebut, Sri Mulyani menyampaikan beberapa pesan kepada Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar: “Pajaknya pasti kami sesuaikan. Semoga setelah ini lifting-nya naik signifikan,” ujar Suahasil di Katadata.co.id Forum di Jakarta, Selasa (21/11).
Arcandra Tahar yang hadir di forum tersebut tidak membantah apa yang disampaikan Suahasil. Namun kalimat tersebut kurang lengkap. Menurut Arcandra, saat itu Menteri Keuangan menyampaikan: “Kalau tidak terjadi (lifting naik), Pak Wamen saya gantung,” ujar dia menirukan ucapan Sri Mulyani.
Adapun, saat ini draf Peraturan Pemerintah mengenai pajak gross split tersebut sudah sampai meja Presiden Joko Widodo. Harapannya, aturan tersebut dapat segera ditandatangani presiden, sehingga segera diberlakukan.
Suahasil mengatakan peraturan pajak gross split ini bukan hanya kebutuhan hulu migas, tapi juga perekonomian nasional. Apalagi industri hulu migas juga sangat berpengaruh terhadap keuangan negara. Ini karena dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) salah satu asumsi yang digunakan adalah lifting (produksi siap jual) migas.
Sekitar tahun 2011 dan 2012, penerimaan negara dari sektor migas bisa mencapai Rp 300 triliun hingga 400 triliun. Namun, saat ini capaiannya di bawah itu. “Yang menyedihkan penerimaan turun bukan karena harga minyak rendah, tapi akibat lifting dan produksi turun dalam 2-3 tahun terakhir,” ujar Suahasil.
Penurunan lifting ini juga bisa membahayakan perekonomian nasional. Apalagi jika penurunan itu terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sedang meningkat. Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat artinya kebutuhan minyak akan naik.
Namun, apabila kenaikkan kebutuhan minyak tidak bisa terpenuhi dari dalam negeri karena lifting menurun maka impor bisa melonjak. Hal itu akan bahaya jika terjadi dalam 10 hingga 20 tahun. “Kalau impor mulai bahaya karena akan memukul APBN dan neraca pembayaran,” ujar Suahasil.
Untuk itu ketika pertama kali diajak berdiskusi mengenai pajak gross split, Suahasil menyampaikan kepada tim untuk membuat sistem pajak yang sesimple mungkin dan memiliki potensi dispute (perselisihan) kecil. Alhasil, awalnya mengusulkan metode deemed profit, artinya besaran pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus.
Usulan itu pun disampaikan kepada Arcandra Tahar dan pelaku migas. Namun, pelaku migas menolak metode itu.”Pelaku bilang tidak mau deemed profit. Maunya ketentuan umum yang normal,” ujar Suahasil.
Alhasil, dalam penyusunan pajak gross split ini, ada tiga hal yang menjadi pegangan BKF. Pertama, perpajakan gross split dimaksudkan untuk mendorong industri hulu migas. Artinya pajak jangan dipungut di depan.
Dengan begitu industri hulu migas dan turunannya akan tumbuh. Sehingga bisa menjadi basis pajak. “Saya bilang ke teman Direktorat Jenderal Pajak jangan dimunculin pajak di depan. Nanti kalau industri ada, maka pajak muncul dengan sendirinya,” kata Suahasil.
Kedua adalah kepastian hukum. Dalam menyusun aturan ini, pemerintah akan meminimalkan daerah “abu-abu” yang bisa menjadi sumber ketidakpastian. Ketiga adalah penyederhanaan.
(Baca: Pemerintah Beri Dua Insentif Pajak Baru untuk Skema Gross Split)
Tiga semangat skema kontrak bagi hasil
Di sisi lain, Arcandra Tahar berharap peraturan pemerintah mengenai pajak gross split bisa cepat selesai. Ia juga menyampaikan setidaknya ada tiga semangat yang mendasari terbitnya skema kontrak bagi hasil gross split.
Semangat pertama adalah kepastian. Dengan skema ini kontraktor bisa menghitung sendiri besaran bagi hasilnya berdasarkan variabel yang ada pada kontrak gross split. Alhasil bisa menghindari perdebatan mengenai besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery) karena seluruh biaya ditanggung kontraktor.
Kedua, kesederhanaan. Dalam skema kontrak gross split kontraktor akan lebih mudah mejalankan eksplorasi dan eksploitasi. Sebab KKKS tidak perlu lagi terlibat dalam membahas anggaran dengan SKK Migas setiap tahunnya.
Ketiga, efisiensi. Dengan skema gross split, kontraktor bisa melakukan pengadaan barang dan jasa secara mandiri. "Beri kita waktu untuk buktikan," kata Arcandra.