Holding BUMN, Pemda Papua dan BPJS Siap Ambil Saham Freeport
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah menyiapkan pengambilalihan saham divestasi PT Freeport Indonesia. Nantinya 51% saham Freeport akan diambilalih oleh perusahaan induk (holding) BUMN pertambangan, Pemerintah Daerah (Pemda) Papua, dan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).
Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan holding BUMN pertambangan, pemda Papua, dan BPJS akan mengambil saham Freeport melalui Entitas Bertujuan Khusus (special purpose vehicle/SPV). “Masih on progress metode divestasinya maupun valuation-nya," ujar dia saat acara diskusi dengan media di Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis malam (4/10).
Rini memang belum mau menjelaskan detail mengenai divestasi melalui skema SPV tersebut. Yang jelas, mereka mampu menyerap divestasi 51% saham Freeport. Apalagi posisi aset dan arus kas BUMN tambang sudah kuat dan besar.
Jadi skema divestasi saham perusahaan tersebut tidak akan melalui penawaran saham perdana (Initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI). "Kami mampu. Kalau tidak mampu kami katakan sejak awal," ujar Rini.
Rini menargetkan, proses divestasi selesai di akhir tahun 2018 dan pembelian saham ini dilakukan sekaligus, tidak bertahap. Ini sekaligus menjawab surat CEO Freeport McMoran Cooper & Gold Inc Richard Adkerson yang menolak skema pemerintah. Apalagi Kementerian BUMN menjadi penanggung jawab mengenai divestasi saham.
Pada 28 September 2017 lalu, CEO Freeport McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson memang mengirimkan surat mengenai divestasi kepada pihak Kementerian Keuangan, tepatnya Sekretaris Jenderal Hadiyanto. Inti surat itu adalah penolakan terkait dengan posisi pemerintah terhadap proses divestasi saham perusahaannya.
Setidaknya, terdapat lima poin yang ada di surat tersebut. Pertama, pemerintah bersikap kalau divestasi 51% saham Freeport bisa terlaksana paling lambat 31 Desember 2018. Karena, seharusnya proses divestasi saham ini telah selesai tahun 2011. Pemerintah pun menyatakan memiliki kapasitas keuangan yang cukup untuk melakukan hal tersebut.
Namun, Freeport mengajukan agar divestasi awal dilakukan secepat mungkin dengan melalui mekanisme penawaran saham perdana ke bursa (Initial Public Offering/IPO). Kemudian divestasi penuh dilakukan bertahap dalam periode yang sama dengan mengacu PP no. 20/1994 yang memperbolehkan kepemilikan asing.
Poin kedua, Freeport secara tegas menolak perhitungan nilai saham yang diajukan pemerintah. Pemerintah menghitung nilai saham itu berdasarkan kegiatan usaha pertambangannya hingga tahun 2021, sesuai dengan berakhirnya Kontrak Karya (KK).
Namun, Adkerson menyatakan, Freeport menginginkan perhitungan menggunakan nilai pasar secara wajar dan menggunakan standar perhitungan internasional. Caranya dengan melakukan perhitungan kegiatan Freeport hingga 2041.
Ketiga, pemerintah menginginkan Freeport menerbitkan saham baru (right issue) yang seluruhnya akan diserap oleh pemerintah. Hal itu ditolak Freeport. Menurut perusahaan asal Amerika Serikat itu proses divestasi dilakukan dengan cara penjualan saham perusahaan induk dan PT Mitra Joint Venture, dengan melakukan perhitungan yang diinginkan Freeport.
Keempat, pemerintah meminta seluruh haknya berupa 51% total produksi dari seluruh wilayah yang tercantum dalam IUPK setelah proses divestasi ini selesai. Freeport pun menyetujui hal ini, tetapi valuasi sahamnya dilakukan atas nilai wajar dan menghitung hingga operasinya sampai 2041.
Kelima, pemerintah meminta segera menanggapi permintaan due diligence dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk memberikan kemudahan dalam mengakses data demi kelancaran penerbitan IUPK. Adapun, respons Freeport yakni menyetujui untuk membuka ruang agar segera bisa melakukan due diligence (uji tuntas).