Luhut Minta Freeport Tak Masukkan Cadangan untuk Valuasi Saham
Salah satu poin negosiasi antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia adalah divestasi saham. Selain harus melepas saham sebesar 51%, perusahaan asal Amerika Serikat itu diminta tidak memasukkan jumlah cadangan untuk menghitung harganya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan harga saham yang dilepas Freeport nantinya dihitung berdasarkan nilai pasar tanpa memasukkan cadangan. "Masa yang di bawah tanah dihitung, kan belum ketahuan," kata dia di Kantornya, Senin (14/8).
(Baca: Aturan Terbit, Perusahaan Tambang Bisa Divestasi Saham Lewat Bursa)
Tata cara divestasi perusahaan tambang di Indonesia sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 tahun 2017. Pasal 14 aturan tersebut menyatakan harga saham divestasi dari pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang ditawarkan kepada peserta indonesia ditetapkan berdasarkan harga pasar yang wajar dengan tidak memperhitungkan cadangan mineral atau batubara pada saat dilaksakannya penawaran.
Aturan itu juga membuka opsi kepada perusahaan tambang untuk melakukan divestasi melalui bursa saham. Opsi ini bisa dilakukan jika Peserta Indonesia yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Badan Swasta Nasional tidak tertarik dengan saham tersebut.
Menurut Luhut, divestasi saham ini juga bisa menjadi pertimbangan pemerintah memberikan perpanjangan masa operasional kepada PT Freeport Indonesia. “Saya kira kalau sudah divestasi saham 51% bukan masalah itu perpanjangan sampai 2041,” ujar dia.
(Baca: Kementerian BUMN Tolak Divestasi Saham Freeport Lewat Bursa)
Namun, Luhut mengatakan untuk mendapatkan perpanjangan masa operasional hingga 2041, Freeport tidak bisa langsung mendapatkannya dalam satu periode. Ini karena aturan yang berlaku di Indonesia tidak mengizinkan perpanjangan masa operasional tambang lebih dari 10 tahun dalam satu tahap. Sementara masa operasional Freeport berakhir di 2019.
Untuk mendapatkan perpanjangan masa operasional itu, Freeport harus mengikuti pasal 83 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena sudah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari sebelumnya kontrak. Pasal tersebut menyebutkan jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batu bara dapat diberikan paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun.
Perpanjangan itu juga masuk dalam klausul kontrak Freeport yang ditandantangi 1991 oleh Menteri Pertambangan saat itu Ginandjar Kartasasmita. Dalam pasal 31, perusahaan akan diberi hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun atas jangka waktu tersebut berturut-turut, dengan syarat disetujui pemerintah.
Juru bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama pernah mengatakan perusahaannya meminta perpanjangan operasional hingga 2041 dengan tidak melalui dua tahap bukan tanpa alasan. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari keinginan itu. Pertama, investasi yang sangat besar mencapai US$ 15 miliar untuk tambang bawah tanah.
(Baca: Adu Kuat Jonan dan Freeport Soal Perpanjangan Operasional)
Kemudian, ada investasi US$ 3miliar untuk pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Alasan lainnya adalah divestasi yang cukup besar hingga 51 persen. “Kami ingin langsung perpanjangan sampai 2041 tanpa melewati opsi tersebut,” kata Riza kepada Katadata, Jumat (23/6).