Skema Jual Beli Listrik dari Pembangkit Batu Bara Bisa Rugikan PLN
Lembaga internasional Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menghitung adanya potensi kerugian triliunan rupiah yang bisa dialami PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) dari kontrak jual beli listrik yang berasal dari pembangkit batu bara. Penyebabnya adalah adanya penerapan skema pembayaran kapasitas dalam kontrak jual beli tersebut.
Pakar Pembiayaan Energi IEEFA Yulanda Chung mengatakan skema tersebut memang akan memberikan mendorong investasi karena ada kepastian kepada produsen bahwa listrik yang mereka hasilkan dari pembangkit batu bara terbeli. Namun, skema itu bisa menjadi beban bagi PLN karena tetap membayar listrik dari produsen meskipun tidak termanfaatkan.
(Baca: PLN Kantongi Restu Pemerintah Miliki Tambang Batubara)
Dari hasil kajian IEEFA yang bertajuk “Overpaid and Underutilized: How Capacity Payments to Coal-Fired Power Plants Could Lock Indonesia into a High-Cost Electricity Future”, PLN harus menanggung beban pembayaran US$ 76 miliar akibat adanya klausul tersebut. Padahal listrik tersebut tidak seluruhnya bisa termanfaatkan.
Perhitungan itu berdasarkan jumlah pembangkit listrik PLTU Batu bara dan mulut tambang yang ada di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026. Selama sembilan tahun itu rencananya akan terbangun pembangkit tenaga batu bara dengan total kapasitas 24 gigawatt (GW).
Jadi, jika masa kontrak tersebut berlangsung 25 tahun dan memiliki tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return/IRR) sebesar 12%, maka PLN harus membayar US$ 3,16 miliar. Sehingga dengan total kapasitas 24 GW, jumlah yang ditanggung mereka adalah US$ 76 miliar. "Hal itu akan terlalu mahal untuk PLN," kata Chung dalam paparan laporannya di Jakarta, Jumat (11/8).
Di sisi lain, konsep pembayaran kapasitas itu dapat mengurangi minat PLN untuk menambah porsi energi terbarukan. Itu bisa terjadi sebagai cara PLN menghindari kerugian dari kewajiban pembayaran kapasitas kepada PLTU yang tidak akan termanfaatkan secara optimal.
Salah satu contoh potensi kerugian adalah sistem kelistrikan Jawa-Bali. Sistem tersebut membutuhkan marjin cadangan sebesar 25% sesuai dengan perencanaan PLN. Namun, apabila semua rencana penambahan kapasitas berdasarkan RUPTL terlaksana, maka marjin cadangan akan naik menjadi 40% dan bahkan mencapai 55% pada tahun 2019.
(Baca: Revisi Rencana Listrik: Pembangkit Batubara Dominan, Gas Berkurang)
Berdasarkan asumsi bahwa 40% dari kapasitas tidak akan terserap oleh sistem, maka sebanyak 5.138MW harus tetap ditanggung pembayaran kapasitasnya. Berarti PLN harus mengeluarkan US$ 16,2 miliar untuk kapasitas yang terbuang.
Untuk itu menurut Chung, sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali tidak perlu menambah pembangkit dari batu bara. “Karena yang terdapat hari ini dalam sistem hanya memproduksi setengah dari kapasitas seharusnya, " ujar dia.
Selain itu, biaya tenaga listrik batu bara juga rentan inflasi. Ini terbukti dengan membandingkan biaya pokok pembangkitan (BPP) di Indonesia dari 2015 sampai 2016. Hasilnya, sebanyak 16 dari 21 propinsi mengalami kenaikan BPP daerah, yang diakibatkan oleh dominasi PLTU.
Di sisi lain, menurut Chung, Indonesia memiliki beberapa pilihan energi baru terbarukan sebagai sumber energi. Apalagi harga energi terbarukan terus mengalami penurunan drastis.
Contohnya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) fotovoltaik. Pada tahun 2016, biaya listrik teraras bagi PLTS fotovoltaik di Indonesia diperkirakan berada pada US$ 17 sen per kWh.
(Baca: Tambahan Subsidi Listrik Ditolak DPR, PLN Talangi Rp 5,6 Triliun)
Analisa dari IEEFA menunjukkan bahwa PLTS fotovoltaik akan menjadi kompetitif bagi pemanfaat on-grid pada tahun 2021. Pada saat itu harganya mencapai US$ 8 sen per kWh dan bahkan sistem Jawa-Bali.