Minim Eksplorasi, Indonesia Terancam Kekurangan Migas
Indonesia terancam mengalami defisit minyak dan gas bumi (migas) pada 2025. Penyebabnya adalah minimnya eksplorasi migas, sementara permintaan di dalam negeri terus meningkat.
Kepala Bagian Humas Satuan Kerja khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Z. Yunus mengatakan, kegiatan eksplorasi di Indonesia memang masih rendah. Dalam 10 tahun terakhir, hanya ada satu temuan besar migas yakni Blok Cepu di Jawa Timur. (Baca: Exxon Uji Coba Produksi Lapangan Banyu Urip 200 Ribu Barel)
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat eksplorasi adalah harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang masih berada di kisaran US$ 50 per barel membuat investor enggan berinvestasi untuk kegiatan eksplorasi, namun hanya sebatas kegiatan pengembangan dan perawatan sumur.
Pada kuartal tiga 2016, investasi untuk kegiatan eksplorasi di Indonesia sekitar US$ 5,93 miliar. Dengan jumlah sebesar itu, belum juga menemukan cadangan migas. Sementara itu investasi migas di blok-blok produksi sebesar US$ 4,9 miliar. "Tahun 2016 jadi tahun terendah kegiatan eksplorasi," kata Taslim di Jakarta, Selasa (31/1).
Penyebab lainnya adalah minimnya data migas. Untuk mengatasi hal ini, Taslim mengusulkan Kementerian Keuangan mau menyisihkan sebagian penerimaan migas untuk memperbaharui data-data migas. Dengan demikian, investor akan tertarik berinvestasi di Indonesia.
Apalagi menurut Taslim potensi migas di Indonesia masih sangat besar. Saat ini terdapat 128 cekungan migas, di mana 74 cekungan diantaranya masih belum dilakukan kegiatan eksplorasi. (Baca: Pemerintah Harap Skema Gross Split Memacu Migas Nonkonvensional)
Namun, jika tidak ada perbaikan dan eksplorasi, maka Indonesia akan kekurangan migas. SKK Migas mencatat produksi migas sekarang mencapai 2 juta barel setara minyak per hari (bsmph). Di sisi lain, tingkat kebutuhan migas delapan tahun mendatang sebesar 3,5 juta bsmph.
Dari data tersebut bisa terlihat kalau tidak ada temuan baru, maka ada potensi kekurangan migas sebesar 1,5 juta bsmph. Rinciannya defisit gas bumi sebesar 900.000 bsmph, dan minyak sebesar 600.000 bsmph. "Untuk menutupi gap ini apakah kita berusaha eksplorasi atau akan impor migas di masa yang akan datang" ujar dia.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan pemerintah tengah berupaya meningkatkan kembali gairah investasi dengan memangkas perizinan. Sebelumnya perizinan di sektor migas bisa mencapai 104 izin, lalu menyusut menjadi 42 izin. "Satu dua bulan lagi hanya tinggal 6 izin saja," kata dia.
Menurut Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan Rionald Silaban lesunya kegiatan hulu migas juga berdampak pada penerimaan negara. Pada 2013 dan 2014 tren Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas masih di atas 50 persen, tapi 2016 PNBP hanya mencapai 30 persen.
Sedangkan tahun 2015, dari total realisasi PNBP sebesar Rp 352 triliun, migas menyumbang Rp 198 triliun. "Permasalahan adalah menurunnya kegiatan eksplorasi migas, lalu adanya cost recovery," kata Rionald. (Baca: BKPM Luncurkan Program Perizinan Investasi Tiga Jam Sektor ESDM)
Untuk itu Rionald berharap revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang perpajakan dan cost recovery (penggantian biaya operasional) bisa menggairahkan kembali investasi hulu migas. "Apalagi ada skema gross split diharapkan menyederhanakan rantai birokrasi sehingga bisa meningkatkan perekonomian proyek," ujar dia.